DEBUTOTA – OPINI, Gorontalo dikenal dengan falsafahnya yakni “Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Kur’ani”, yang diartikan sebagai “adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah”. Sebuah nilai kearifan lokal, yang sangat memegang tinggi hukum agama yang tak lain adalah fondasi serambi madinah sebagai daerah adat istiadat.
Gorontalo saat ini bisa dikatakan mengalami kondisi “Darurat zina”, bahkan dibeberapa medio terakhir masalah perselingkuhan hilir mudik menghiasi pemberitaan dimedia dan menjadi perbincangan hangat diwarung kopi. Banyaknya kasus perselingkuhan yang terungkap baik penggerebekan secara resmi oleh pihak Kepolisian, dari yang viral hingga yang tidak viral, dari sipil hingga ke pejabat negara pun turut mencoreng wajah serambi madinah dewasa ini. Bahkan, berzina dengan pasangan orang lain sepertinya telah menjadi trend dan memiliki kepuasan tersendiri bagi para psikopat-psikopat penikmat serabi lempit orang lain itu.
Namun dalam tulisan ini, kita tidak sedang berbicara secara luas persoalan zina. Fokus kita pada moral pejabat atau pelayan rakyat, yang menjadikan zina seakan tidak lagi menjadi sebuah hal yang tabu. Adat pun tak lagi dijunjung, sebab ancaman hukum pidana saja sudah tidak lagi ditakuti kecuali perasaan malu sebagai bahagian dari konsekwensi atas perbuatannya tersebut.
Seperti kita tahu, Bupati adalah jabatan politik yang juga sebutan untuk kepala daerah tingkat kabupaten, yang merupakan warisan dari jaman pemerintahan Hindia Belanda. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (masyarakat) di kabupaten setempat.
Sebelum tahun 1945 gelar bupati sebenarnya hanya dipakai di pulau Jawa, Pulau Madura, dan Bali. Dalam bahasa Belanda, bahasa administrasi resmi pada masa Hindia Belanda, istilah bupati disebut sebagai regent, dan istilah inilah yang dipakai sebagai padanan bupati dalam bahasa Inggris. Semenjak kemerdekaan, istilah bupati dipakai untuk menggantikan regent seluruh wilayah Indonesia. Namun, lagi-lagi kita tidak mau membahas fungsi dan cara kerja bupati seperti yang sudah diuraikan dalam Undang-undang Negara ini.
Bobroknya kepribadian atau psikologi Bupati yang menyukai perempuan bukan pasangannya dan atau pasangan orang lain, seakan memberikan kesan tidak bagus bagi daerah ini. Bagaimana tidak, Bupati yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagi masyarakatnya, eh malah terkesan tidak “profesional” saat menjalankan misinya sebagai laki-laki yang konon katanya pria sejati. Akhirnya, perkara nikmat itu tersebar hingga kemana-mana bahkan dewasa ini, sudah menjadi hal biasa karena publik tahu rekam jejak atau kondisi keluarga dari pribadi Bupati itu sendiri.
Disamping itu, filosofi harta, tahta dan wanita sejatinya tergambar diwajah dan tabiat Bupati ini. Dalam hal negatif, rayuan setan ketika dia mendapatkan kesempatan pada jabatannya, menjadikan fenomena tersebut semakin terpatri dalam kehidupannya.
Motif si Bupati yang terkesan bodoh untuk menyembunyikan tabiat buruknya ini, sebenarnya akan dimulai dari mana..?? Sebab perkara yang berulang-ulang heboh, seakan tidak bisa menjadi pelajaran atas pengalaman minimnya mengenai mahkluk indah ciptaan Tuhan itu. Membingungkan memang, yang pasti publik kembali akan dihebohkan dengan perkara yang menghentak bumi tempat berpijaknya Bupati tersebut. Artinya, Belum selesai masalah yang satu, kini muncul lagi perkara yang menggambarkan bodohnya dia menjadi laki-laki.
“Sontoloyo”, mungkin bahasa yang pas untuk menggambarkan Bupati ini. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sontoloyo artinya konyol, tidak beres, dan bodoh. Ketiga padanan kata sontoloyo memiliki makna negatif, sehingga istilah ini kerap dipakai sebagai makian atau umpatan. Namun, Karakteristik orang yang sontoloyo belakangan memiliki makna yang masuk dalam konteks sosiopragmatik. Artinya, ini adalah hasil dari kondisi sosiologis publik dengan melihat fenomena “salah otak” milik Bupati yang terkesan tidak bergelar itu.
Sontoloyo, dikonotasi negatif dalam KBBI menyebutkan, profesi sebagai pengembala bebek yang tidak mampu mengatur hewannya yang kemudian banyak menyulitkan orang lain. Sehingga, gara-gara hewannya itu, muncullah umpatan yang populer yakni “Dasar Sontoloyo”.
Jika dikaitkan dengan fenomena penyakit Bupati sontoloyo ini, tentu bukan hanya publik yang merasa terganggu dengan tabiat tersebut, namun hal itu dipastikan akan mengganggu jalannya pemerintahan yang dipimpinnya.
Lalu kenapa sekarang harus disebut Bupati Sontoloyo…???
Berulang-ulang kali, dikejadian yang sama namun berbeda dipasangannya, seakan membuatnya seperti tidak ingin mendapatkan hidayah Tuhan. Jabatan yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik, dirusak dengan mencicipi nikmat sementara dari “kue serabi” itu. Padahal dia tau, tekstur pada jenis “reptil betina” ini, memiliki berbagai masalah dan tanggung jawab yang besar, ketika tidak dikelola secara profesional. Hal ini jika kita berbicara diluar konteks yang ada, maka pranala yang harus dijauhi adalah pencegahan “penyakit” jamur dan bakteri dikehidupannya.
Beragam fakta terkuak dibeberapa Tahun belakangan, menjadi bukti bahwa sebenarnya Bupati sontoloyo ini terbiasa dengan penyakit hawa nafsu. Seperti kisahnya Abu Jahal yang disebut sebagai bapak kebodohan, Bupati Sontoloyo, selalu mengikuti hawa nafsu akan kedudukan dan memanfaatkan jabatannya.
Saat ini, terdapat masalah baru namun tetap pada kerangka kasus yang sama. Berawal dari keluhan seorang wanita bersuami, yang merasa tertipu setelah dinikmati oleh Bupati Sontoloyo ini. Hal ini tentu belum beredar luas, sebab harga diri dan janji serta “itikad baik” dari sang bupati masih ditunggu walau dalam batas waktu yang belum tentu ditepati. Bukan hal yang muluk, Janjinya hanya pada batas jabatan untuk suaminya.
Lagi-lagi janji, menjadi senjata utama karena melihat jabatan, membuat wanita ini terpedaya sehingga rela mengikuti kemauan Bupati sontoloyo itu. Pertemuan yang berulang-ulang kali terjadi, baik di Manado atau di Gorontalo diikutinya demi keberlangsungan hidup keluarganya.
Sempat diakui oleh si wanita, namun belakangan disebut hoax karena takut dengan suaminya jika persoalan itu terbongkar. Pelan tapi pasti, publik akan kembali dihebohkan dengan tabiat Bupati sontoloyo ini.
Ingat Gorontalo adalah daerah adat, Gorontalo memiliki keyakinan yang kuat atas hukum Tuhan jika ini benar adanya. Bencana demi bencana sudah menjadi bukti atas ketidak beresan bupati sontoloyo itu. Walau tidak pernah dikaitkan, namun hukum karma dipastikan akan ditanggung bersama oleh rakyat di tanah serambi madinah ini.
Beragam masalah yang menimpa, sudah menjadi bukti bahwa mungkin Tuhan sudah bosan dengan membuka seluruh aib yang ada. Namun perlu ditegaskan pada tulisan ini, Butota tidak bermaksud menyinggung seluruh manusia yang tinggal diatas daerah yang berjuluk Serambi Madinah ini. Namun lebih kepada proses untuk menyadarkan kepada oknum Bupati tersebut, untuk kembali ke jalan yang benar. Masih ada waktu untuk berubah dan masih ada kesempatan untuk membersihkan diri atas segala dosa yang sudah dilakukan.
Kan, menikmati kue serabi di teras rumah sendiri, yang akan terasa nikmat sambil menyeruput kopi. Bismillahirahmanirrahim…. [***]