Scroll untuk baca artikel
banner 300x250
Example floating
Example floating
banner 300x250
BeritaTajuk & Opini

Peran Influencer Menggiring Opini Politik di Media Sosial

93
×

Peran Influencer Menggiring Opini Politik di Media Sosial

Sebarkan artikel ini
design rush
Example 468x60

Oleh : Isma Swastiningrum

DB – OPINI, Rapper, penulis lagu, dan produser rekaman asal AS, Ye (dulu dikenal sebagai Kanye West), menghebohkan publik setelah membeli media sosial bernama Parler. Dirilis pada 2018, Parler mengklaim diri sebagai platform “kebebasan berbicara”, sehingga seseorang yang ingin mengungkapkan apa pun tak perlu merasa khawatir dibungkam.

banner 300x250

Alasan Ye membeli Parler berawal dari pengalaman buruknya di akun Twitter yang ditangguhkan selama lebih dari seminggu karena postingannya dianggap melanggar kebijakan. Di sisi lain, media sosial ini juga menjadi platform yang digunakan golongan konservatif dan ekstremis (sayap kanan) di AS untuk menggiring narasi politik tertentu. Parler kemudian dianggap menjadi platform hiperpartisan yang mendukung mantan Presiden AS Donald Trump.

Ye, sebagaimana dikabarkan media, menjalin kedekatan dengan Donald Trump dan melobi koalisi agar dinominasikan sebagai presiden AS dalam pemilu 2024 mendatang. Ye ingin menjadikan Trump sebagai calon wakil presidennya.

Yang menarik di sini, entah sekadar guyon atau memang caranya mencari publisitas, Ye dengan platformnya Parler merupakan salah satu fenomena “influencer politik” yang berkembang seiring menjamurnya media sosial. Dalam kasus Ye, ia tak hanya bertindak sebagai influencer, tetapi juga memiliki “alat produksinya” sendiri untuk menggiring dan mempengaruhi publik.

Martin J. Riedl dkk. dalam tulisannya yang berjudul “Political Influencers on Social Media: An Introduction” mendefinisikan influencer sebagai “pengguna media sosial yang memiliki pengikut di platform media sosial karena keahlian khusus mereka dan hubungan otentik yang mereka rawat dengan para pengikutnya.” Influencer dapat dibedakan pula berdasarkan jumlah pengikutnya, dari yang ukurannya nano, mikro, menengah, mega, dan makro. Influencer juga dapat dipilah berdasarkan jumlah platform yang digunakannya. Bahkan, influencer merawat pengikutnya secara berhati-hati dengan mempertimbangkan konten yang ditampilkan, sekaligus menikmati peran mereka dengan berbagai embel-embel kapasitas profesionalnya.

Para influencer tersebut menggunakan pengaruh mereka untuk mempromosikan tujuan yang sifatnya spesifik, dari promosi produk perusahaan hingga mengadvokasi pandangan sosial atau politik tertentu. Dalam dunia periklanan, influencer ini mendapat bayaran dan mereka berada di lingkaran emas “komoditas, penjual, pembeli”. Meski demikian, influencer anak-anak dan pemuda dianggap melakukan kerja-kerja bawah umur. Selain itu, New York Times juga mencatat bagaimana kampanye berbayar yang dilakukan oleh influencer mengabaikan aturan iklan politik.

Riedl dkk. memiliki istilah khusus untuk menyebut influencer jenis ini yaitu “political influencer” atau “influencer politik”. Mereka merupakan pembuat konten yang mendukung posisi politik dan tujuan sosial kandidat tertentu melalui media yang mereka produksi dan bagikan. Selain itu, influencer politik ini memiliki beberapa kombinasi atribut yang mentereng, seperti atribut yang berkaitan dengan kredibilitas, keahlian, antusiasme, jaringan yang dapat mempengaruhi banyak orang.

Influencer ini bertindak secara profesional dan pendapatan utamanya bersumber dari aktivitasnya, meski ada pula sebagian yang bekerja paruh waktu. Orang-orang ini dapat terdiri dari: (1) politisi yang bertindak sebagai influencer di media sosial, (2) influencer politik yang bertindak sebagai penggiring opini, (3) influencer yang menjadi politisi, dan (4) jurnalis yang bertindak sebagai influencer politik.

Pertanyaannya kemudian, kenapa kita harus peduli pada influencer politik media sosial ini?

Pengaruh Politik Para Influencer

Kekuatan pemasaran influencer hari ini sangat terasa, terlebih dengan maraknya media sosial dan iklan di mana-mana. Kesuksesan para influencer politik diukur dari bagaimana algoritma mendukung atau menekan kontennya. Platform adalah infrastruktur yang digunakan oleh influencer untuk terlibat dengan audiens mereka, merentang dari Facebook, Instagram, Telegram, TikTok, Twitch, Twitter, Weibo, YouTube, Google Docs, hingga siniar. Bahkan, dating apps juga bisa digunakan untuk menyebarluaskan pesan.

Dua platform yang sangat berpengaruh dalam konteks ini tak lain adalah Tiktok dan Instagram. Kedua platform itu memang dibuat untuk mendukung keseharian influencer. Influencer dapat “menjual” pesan politiknya dengan menggunakan tagar khusus. Tentu saja, efeknya juga berisiko: politik dapat dipahami sebagai sesuatu yang sederhana dan mudah, yang menggiring orang-orang pada sinisme politik berlebihan ataupun menambah ketertarikan (anak muda) terhadap politik.

Di Jerman, fenomena itu disebut sebagai “Efek Rezo (Rezo Effect)”, merujuk ke bagaimana influencer di Jerman yang bernama Rezo menyerang partai konservatif Jerman Christian Democratic Union (CDU) dalam sebuah video. Aktivitas Rezo lantas diikuti oleh para influencer lain, yang mampu memberikan peran literasi dan pendidikan politik yang penting bagi publik.

Kemudian yang terjadi di India, influencer menjadi alat partai untuk membuat narasi, seperti pembuat opini, memperuncing debat kebijakan dan isu, serta menawarkan arahan ke masyarakat. Dalam kongres Bharatiya Janata Party (BJP), berbagai partai menggunakan figur-figur terkenal dan berpengaruh, merentang dari selebritas, atlet, dan pebisnis sukses untuk meningkatkan suara di pemilihan umum. Bintang yang dipamerkan waktu itu seperti Amitabh Bachchan, Salman Khan, dan Akskhay Kumar. Mereka dilibatkan untuk menciptakan kesadaran terkait agenda partai hingga kebijakan.

Untuk mendapatkan audiens yang spesifik, para pendukung calon pejabat politik juga menggunakan influencer yang spesifik, yang non-mainstream atau tidak dikenal dalam dunia infotainment. Berkaca dari kasus di India, ada beberapa praktek yang lazim digunakan oleh politisi. Meskipun demikian, sangat terbuka kemungkinan praktek ini juga dilakukan di negara selain India.

Kepentingan Influencer

Pertanyaannya kemudian, kenapa kita harus peduli pada influencer politik ini?

Masalahnya kemudian, para influencer ini jarang membuka sumber pendapatan mereka.

Petra Mahy dkk. dalam “Influencing the Influencers: Regulating the Morality of Online Conduct in Indonesia” mengungkapkan, influencer menghasilkan uang melalui akumulasi modal sosial daring mereka. Seberapa besar jumlah pengikut, like, engagement, dan lain-lain yang dimiliki oleh seorang influencer akan menentukan sejauh mana mereka bisa memanfaatkan pengaruhnya. Singkatnya, influencer dapat melakukan monetisasi atas aktivitas yang mereka lakukan di media sosial.

Pengaruh ini bernilai besar bagi para politisi, sebab influencer dianggap mampu “menjual” pesan politik tertentu kepada segmen audiens yang spesifik dengan target yang terukur. Melalui para influencer, politik bisa dibawakan sebagai materi yang sederhana dan ringan, bahkan terkadang receh. Efeknya, influencer dapat menambah ketertarikan khalayak terhadap politik, khususnya di kalangan anak muda.

Alhasil, politisi akan dengan senang hati memanfaatkan jasa influencer. Bahkan, politisi tidak hanya memanfaatkan artis dengan nama besar saja untuk menjadi influencer politik. Selain menggandeng artis terkenal, politisi juga kadang mengincar influencer dadakan, yakni mereka yang mendapatkan ketenaran tiba-tiba (notoriety) karena aktivitas media sosial mereka.

Di sisi lain, hubungan antara politisi dan influencer merupakan simbiosis mutualisme. Selain mendapatkan uang dari honor sebagai influencer, kedekatan dengan politisi juga berdampak terhadap peningkatan engagement bagi influencer. Semisal, saat influencer Ria Ricis mengunggah video seharinya bersama Joko Widodo dan keluarganya di Istana Kepresidenan di Bogor pada Desember 2018. Tayangan ini sukses mencetak lebih dari delapan juta tayangan di YouTube.

Dalam taraf yang membahayakan, influencer memiliki kekuatan untuk mengubah selera dan kecenderungan orang-orang menggunakan fakta, pernyataan, dan standar yang benar.

Para influencer ini juga mencari nafkah dengan menjual akun media sosial palsu di bidang bisnis “peternakan klik dan pabrik pengikut (click farms and follower factories)” dengan klien domestik maupun internasional. Mereka tak jarang juga menyebarkan informasi sensasional demi menggaet perhatian dan pengikut baru.

Para influencer ini beroperasi melalui ruang-ruang pakaian dan gaya hidup, seperti penggunaan baju Muslim dan pita.

Secara mendasar, setiap orang bisa menciptakan audiens mereka sendiri dan mengembangkan dampak mereka. Teknik yang mereka lakukan di antaranya dengan menjadi storyteller. Platform dibuat untuk mempengaruhi kebiasaan pengguna media sosial, dan sebagai ruang sosial untuk berkomunikasi, platform dapat membantu untuk membentuk komunikasi politik (platform politik).

Pada Pemilu 2014, misalnya, para influencer politik pendukung Jokowi membagikan gambar di baju mereka, stiker, meme, maupun video yang disebarkan melalui WhatsApp. Bahkan, hal ini sudah dimulai oleh Jokowi sejak ia memasuki gelanggang Pilkada DKI Jakarta 2012. Jokowi menjadi politisi yang memulai tren memaksimalkan media sosial sebagai bagian integral dari kampanye politiknya.

Maju ke tahun 2020, kita juga memiliki memori kolektif saat sejumlah pesohor membuat tagar #IndonesiaButuhKerja sebagai bentuk dukungan atas RUU Cipta Kerja. Aktivitas ini sengaja dilakukan untuk menggiring para pengikut agar mendukung pengesahan RUU Cipta Kerja, yang saat itu mendapat tentangan keras dari banyak pihak. RUU kontroversial itu akhirnya berhasil disahkan menjadi UU Cipta Kerja.

Namun, ketika influencer politik ini berada di jalan yang benar, mereka dapat menjadi corong untuk mereka yang termarjinalkan. Selain itu, influencer politik bisa menjadi duta bagi pendidikan dan literasi politik. [***]

banner 300x250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *