Oleh : Ika Aiyani
DB – Opini, Istilah ‘no viral, no justice‘ muncul sebagai respon masyarakat terhadap pilihan untuk mencari keadilan dengan bantuan publik. Ketimbang mengandalkan penegak hukum formal yang butuh lama penanganannya dan belum tentu juga kelar serta mendapat perhatian serius.
Namun, yang menjadi persoalan, mengapa orang-orang lebih mengandalkan kekuatan netizen di media sosial daripada aparat penegak hukum?
Media sosial memiliki kekuatan besar sebagai sumber informasi dan pengaruh yang bisa mengubah keadilan hukum bagi korban. Fenomena viral di media sosial punya pengaruh besar dalam memperhatikan kasus-kasus yang senyap di masyarakat sehingga dapat menjadi perhatian publik.
Menanggapi hal ini, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Siti Mazumah berbagi dengan Konde.co pada (3/7/2023). Menurutnya, maraknya kasus yang diviralkan di media sosial merupakan respon dari masyarakat karena tidak sepenuhnya percaya pada aparat.
“Masyarakat mencari faktor eksternal agar ditangani. Hal ini wajar karena kita lelah terhadap penegakan hukum di Indonesia yang stuck, tidak ada progress” ujarnya.
Mengutip dari viva.co.id, Jaksa Agung Republik Indonesia, ST. Burhanuddin, menyoroti anggapan yang berkembang dalam penegakan hukum bahwa tidak ada keadilan apabila tidak viral di media sosial. Ia menekankan bahwa informasi yang tersebar luas hingga viral belum tentu memiliki kebenaran yang terkonfirmasi.
“Tidak peduli benar ataupun salah, sebab yang terpenting adalah peristiwa tersebut viral,” kata Burhanuddin melalui keterangannya pada Jumat (30/6/2023).
“Pendewasaan penegakan hukum kini dihakimi dengan slogan masyarakat ‘No Viral, No Justice’. Publik tidak peduli kebenarannya, asalkan peristiwa tersebut viral untuk mendapat perhatian khalayak luas. Namun, hal tersebut justru dapat merugikan diri mereka sendiri ketika harus berhadapan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” jelasnya.
Burhanuddin mengamati banyaknya peristiwa hukum yang menjadi viral selama proses penegakan hukum, terutama yang melibatkan oknum-oknum dari Kejaksaan. Ia menyatakan bahwa tidak peduli benar atau salah, yang paling penting adalah peristiwa tersebut menjadi viral.
Menurut Burhanuddin, Kejaksaan selalu berusaha memberikan solusi terbaik dalam menangani kasus dan memberikan layanan kepada masyarakat. Namun, seringkali Kejaksaan menerima tanggapan negatif seperti hujatan, sindiran, dan makian. Ia menyadari bahwa ruang publik tidak memiliki sekat, ruang, waktu, dan batas.
Kasus Pandeglang: Sulitnya Mencari Keadilan Hukum
Salah satu peristiwa yang ramai di media sosial adalah kasus dari Pandeglang, Banten. Kasus itu melibatkan seorang mahasiswi sebagai korban pemerkosaan dan Non-consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) oleh seseorang yang dikenal dengan inisial AHM.
Kejadian ini menjadi sorotan setelah Iman Zanatul Haeri, kakak korban, mengungkapkannya melalui akun Twitter @zanatul_91. Namun yang disayangkan dalam proses persidangan kasus tersebut, keluarga korban dalam cuitannya menjelaskan bahwa korban (adiknya) dan saksi (kakak) dipanggil oleh jaksa penuntut ke ruang pribadinya.
Jaksa tersebut berkali-kali menggiring opini pribadi seperti, “Kamu harus bijaksana,” dan, “Kamu harus mengikhlaskan.” Selain itu, salah satu jaksa perempuan Kejari Pandeglang menyatakan bahwa kekerasan seksual dalam kasus ini tidak bisa dibuktikan karena tidak ada visum.
Kejaksaan Sudah Memiliki Pedoman
Siti Mazumah menegaskan bahwa Kejaksaan Agung punya Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Harusnya pedoman ini dipatuhi oleh jaksa-jaksa.
“Kalau pedoman internal saja tidak mereka patuhi, lalu apalagi yang mereka patuhi. Hal ini perlu evaluasi internal agar pedoman itu dijadikan pemahaman,” kata Zuma.
Tambahnya, “Sejauh ini apakah pelatihan dan lain-lain sudah dilakukan, walaupun tidak menjamin 100 persen akan merubah jaksanya. Memang banyak juga jaksa yang baik yang berpedoman pada Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021, itulah yang harus dipublikasikan dan jadi inspirasi.”
Zuma pun menanggapi kasus kekerasan seksual yang sedang viral di Pandeglang dan kemudian mendapatkan perhatian. Ia menyatakan sedih dan prihatin jika jaksa malah menyuruh korban untuk memaafkan.
“Kalau jaksa yang bilang memaafkan pelaku dan sebagainya itu sudah melanggar. Harusnya jaksa berpihak ke korban, memahami dan mengerti korban. Jika jaksanya sendiri meminta korban memaafkan pelaku, lalu sebenarnya jaksa berpihak ke mana? Lantas bagaimana tuntutan dan dakwaan yang akan dilakukan jaksa?”
Ia menambahkan dalam kasus kekerasan seksual ini sebenarnya speak up di media sosial merupakan pilihan terakhir.
“Awalnya kakaknya korban ingin merahasiakan kasus ini agar korban tidak trauma dan malu karena masih kuatnya stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual. Tapi kemudian diamnya korban karena merasa dapat mengandalkan aparat penegak hukum tidak menghasilkan keadilan. Sehingga mengungkapkan kasusnya di media sosial menjadi langkah akhir.”
Terkait pernyataan Jaksa Agung Republik Indonesia, ST. Burhanuddin tentang memviralkan suatu kasus dapat merugikan netizen sendiri ketika harus berhadapan dengan UU ITE. Zuma berpendapat bahwa masyarakat berhak mendapatkan rasa keadilan dan rasa aman. Apa lagi, para korban juga punya hak atas perlindungan, pemulihan, dan jaminan kasus yang sama tidak terulang.
“Respon jaksa agung terhadap solidaritas masyarakat yang turut memviralkan itu menurut saya kurang pas, ya. Harusnya kasus yang viral ditampung sebagai masukan dan evaluasi, refleksikan bareng-bareng, karena jaksa agung sebenarnya sudah punya pedoman aturan itu. Pembungkaman dan kriminalisasi sering dipakai oleh orang yang tidak mau ada perbaikan hukum. Jika malah dihadapkan pada UU ITE, itu menjadi pertanyaan. Sepemahaman saya korban yang speak up di medsos ini memang tidak mendapatkan hak keadilan dalam hukum,” tegasnya.
Zuma yang juga bekerja sebagai pendamping korban merasa bahwa penegak hukum lebih responsif ketika kasus telah viral. “Rata-rata ketika kasusnya sudah mendapat perhatian publik, maka pelayanan yang diberikan pada korban pun lebih baik.”
Speak Up di Media Sosial Bukanlah Pilihan Gampang bagi Korban
Meskipun speak up di media sosial bisa membuat layanan terhadap korban lebih cepat, namun menurut Zuma, speak up bukanlah pilihan yang gampang bagi korban.
“Ada juga yang mendapat ancaman oleh pelaku lebih intens. Ini bukan hal yang mudah karena setelah speak up, identitas korban jadi terbuka.”
Selain memiliki kerentanan dan resiko yang besar, UU ITE sebagai pasal karet juga harus diwaspadai. Zuma memberikan saran dan langkah-langkah jika korban tidak punya pilihan lain dan merasa perlu speak up.
1. Memahami Risiko UU ITE
Zuma menyarankan agar nama asli pelaku tidak disebarluaskan, mengingat konsekuensi publik mengetahui kasus ini. “Samarkan nama pelaku. Cukup ciri pelaku dan menceritakan apa yang dialami saja,” ujarnya.
2. Laporkan pada Lembaga Pengawas Penegak Hukum
Jika penegak hukum terkesan lambat atau abai merespon laporan korban, maka langkah yang bisa ditempuh adalah melaporkan oknum aparat tersebut kepada lembaga yang bisa mendorong aparat bekerja. Misalnya, Kejaksaan diawasi oleh Komisi Kejaksaan RI, atau kepolisian diawasi oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
“Kirim surat-surat kepada lembaga tersebut untuk mendorong aparat bekerja,” kata Zuma. “Langkah ini perlu diambil agar jangan sampai korban menghadapi masalah baru dalam prosesnya mendapat keadilan.”
3. Mencari lembaga pendamping korban
Sebelum melapor ke polisi, sebaiknya mencari lembaga pendamping korban. Pastikan ia mendapat bantuan lembaga yang bisa mendukung seperti Komnas Perempuan, LBH, dan lain-lain untuk mendorong proses hukum.
Zuma tidak menyarankan langsung viralkan kasusnya; speak up adalah alternatif terakhir jika tidak ada pilihan lain. Bantuan dari lembaga pendamping korban dimaksudkan agar korban tidak ditimpa masalah berulang seperti kriminalisasi dan perundungan. Jurnalis juga bisa mendorong perubahan kebijakan karena kekuatan netizen terbatas.
Zuma menjelaskan, lembaganya tersebar di 32 provinsi dengan 74 organisasi pendamping korban. Masyarakat juga bisa mengakses di hotline daerah masing-masing atau carilayanan.com.
Bagi orang yang butuh pendampingan, tidak dikenakan biaya atau gratis, kecuali misalnya ada pembiayaan yang tidak bisa dicover seperti psikolog dan lain-lain. Ada juga lembaga layanan milik pemerintah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) punya SAPA 129 sebagai alternatif pengaduan kasus-kasus. [***]