DEBUTOTA, CERPEN – Hari ini merupakan Ramadan hari terakhir di tahun ini, setelah itu kita akan menyambut Idul Fitri 1 Syawal 1446 Hijriah. Banyak orang mengasosiasikan Idul Fitri dengan momen kemenangan setelah menjalani sebulan penuh berpuasa. Tapi, lebih dari sekadar perayaan, Idul Fitri membawa makna mendalam tentang kembali ke fitrah, mempererat hubungan, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.
Kembali ke Fitrah: Introspeksi dan Perbaikan Diri
Idul Fitri berasal dari kata Id yang berarti “perayaan” dan Fitri yang bermakna “suci” atau “kembali ke fitrah.” Setelah ditempa oleh ibadah Ramadan—menahan lapar, haus, emosi, dan godaan lainnya—kita seharusnya keluar sebagai pribadi yang lebih sabar, disiplin, dan penuh empati. Lebih dari sekadar berpesta, Idul Fitri menjadi kesempatan bagi kita untuk merenungkan: apakah kita benar-benar menjadi pribadi yang lebih baik setelah Ramadan berlalu? Apakah kebiasaan baik yang kita bangun selama bulan suci tetap terjaga?
Salah satu bentuk penyempurnaan ibadah Ramadan adalah dengan menunaikan zakat fitri yang biasa disebut Zakat Fitrah di Indonesia. Ini bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk kepedulian sosial agar semua orang, terutama yang kurang mampu, bisa merasakan kebahagiaan di hari yang suci.
Berapa Besar Zakat Fitri yang Harus Dikeluarkan?
Zakat fitri memiliki takaran yang sudah ditentukan, yaitu 1 sha’ makanan pokok per orang, atau setara dengan sekitar 2,5-3 kg beras atau bahan makanan lainnya. Dengan memberikan dalam bentuk makanan, mereka yang menerima dapat langsung merasakan manfaatnya.
Harus Makanan atau Boleh dalam Bentuk Uang?
Mayoritas ulama menyarankan zakat fitri diberikan dalam bentuk makanan pokok, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah . Namun, Mazhab Hanafi membolehkan membayar zakat dalam bentuk uang dengan nilai setara. Di beberapa daerah, panitia zakat bahkan mengonversi uang yang diterima menjadi makanan sebelum disalurkan.