Scroll untuk baca artikel
banner 350x300
Example floating
Example floating
banner 300x250
Cerita Pendek

” Kurir “

82
×

” Kurir “

Sebarkan artikel ini
ilustrasi kurir [Foto : Tribun solo]
Example 468x60

DEBUTOTA, CERPEN – Ketika ia baru saja mematikan motornya, sepasang suami istri itu sedang menonton acara sulap di televisi. Acara itu memperlihatkan seorang dengan wajah menyebalkan, menghentikan orang-orang yang ia temui di jalan. Pesulap itu kemudian memainkan triknya ke setiap pejalan kaki yang bersedia. Acaranya membosankan. Namun, pasangan ini tampak menikmati. Mereka merasa itu lucu. Lalu ketika pesulap itu mengerjai si pejalan kaki dengan trik kecepatan tangannya, membuat hilang uang si pejalan kaki, mereka mulai kesal. Si pejalan kaki juga kesal dan meminta uangnya dikembalikan. Pesulap itu kemudian memberikan tiga kesempatan untuk si pejalan kaki menebak di mana kira-kira si pesulap menyembunyikan uangnya. Tiga tebakan telah disampaikan, dan semuanya salah. Uang itu kini menjadi milik si pesulap. Begitulah aturan mainnya.

“Acara sialan!” maki si lelaki. “Harusnya kepala pesulap itu dihantam palu!”

Si istri tidak menanggapi. Suaminya memang selalu marah-marah setiap menonton televisi. Suaminya sangat membenci acara bodoh di televisi, tetapi ia tetap juga menontonnya. Meski si istri tidak menanggapi, ia sepakat dengan apa yang dikatakan suaminya: pesulap itu memang perlu dihantam palu! Pikiran itu muncul ketika menoleh ke meja kecil di samping sofa tempat ia duduk. Ada palu yang tadi digunakan suaminya menancapkan paku di dinding.

“Ada tamu itu,” kata istrinya begitu mendengar bunyi bel.

Tamu itu membunyikan bel untuk kedua kali. Si suami keluar, mencari-cari siapa yang membunyikan bel malam-malam begini. Ia berjalan tergopoh-gopoh. Perut tambunnya bergoyang di setiap langkahnya. Si istri pergi ke belakang untuk mengambil sisa cucian buat disetrika. Keduanya tidak melihat si pesulap mengembalikan uang ke si pejalan kaki setelah meminta si pejalan kaki melihat ke arah kamera.

Lelaki tambun itu membuka gerbang dan bertanya kepentingan tamunya.

“Maaf, Pak. Saya mau antar paket,” kata kurir itu.

“Saya tidak pesan apa-apa,” balas si lelaki tambun.

“Ah, iya, maaf, maksud saya jahitan jas Bapak.”

“Oh, dari Penjahit Tolowatu. Telat sekali. Saya tunggu dari dua hari lalu. Harusnya tadi pagi saya pakai jas itu ke acara nikah sepupu saya. Bagaimana sih kalian ini?”

Setelah meminta tamu itu masuk, lelaki itu melontarkan keluhan ke wajah si kurir. Kurir itu memaki-maki dalam hati. Harusnya kamu memarahi Tolowatu, bukan saya. Saya ini cuma kurir! Namun, tentu saja, ia tidak berani mengatakan itu. Ia berusaha tersenyum dan mendengarkan segala keluh si lelaki tambun.

Lelaki tambun itu mempersilahkan si kurir duduk di ruang tamu. Ia berkata, tidak akan membayar sampai jas itu terbukti pas. Si kurir terpaksa mengikuti kemauan tuan rumah.

Lelaki itu mencoba-coba jas barunya. Jas itu tampak agak sempit untuk tubuhnya. Perutnya menonjol keluar ketika si lelaki memaksa mengancingnya. Wajahnya memperlihatkan perasaan kesal, seolah berkata, saya tidak mau membayarnya! Kurir itu memperhatikan dengan perasaan waswas. Keringat mulai melapis pelipisnya. Si kurir mulai cemas lelaki itu tidak mau membayar. Namun, begitu si lelaki tambun berkata tunggu sebentar, ia hendak mengambil uang, kurir itu langsung merasa lega. Tidak lama si lelaki tambun keluar.

Begitu si lelaki tambun menyerahkan uangnya, kurir itu mendapat perasaan tidak menyenangkan. Ia menatap tidak percaya melihat uangnya yang ia terima. Ia meminta si lelaki untuk tidak dulu mengambil jas itu dan buru-buru masuk. Ia mengajak lelaki itu untuk bersama-sama menghitung uang yang tadi diserahkannya. Si kurir menderetkan lembar demi lembar uang di meja. Uang itu berupa pecahan lima ribu, sepuluh ribu, dan dua puluh ribu. Tidak ada satu pun uang besar. Memang banyak lembarannya, tetapi uang kecil semua.

“Kamu ngerjain saya, ya?” kata si lelaki tambun.

Kurir itu terkejut. “Ngerjain bagaimana?”

“Tadi jelas-jelas jumlahnya tiga ratus tujuh puluh ribu!”

“Sumpah, Pak. Uangnya cuma ini.”

“Kamu mau main sulap, ya? Mau ngerjain saya lagi?”

“Lagi?”

“Sudah jangan pura-pura tidak ngerti!”

Kurir itu kebingungan. Agaknya orang ini tidak waras pikirannya. Pantas saja kurir-kurir lain tidak ada yang mau diminta antar barang ke sini. Sial betul diriku, pikir si kurir.

“Begini saja. coba Bapak lihat lagi uang Bapak di dalam sana. Mungkin uangnya masih ada.”

Lelaki tambun itu kemudian teringat pada pesulap yang suka memerintah di televisi.

“Saya tidak mau. Kamu saja yang lihat sendiri!”

Si kurir makin kebingungan. “Maksudnya, saya masuk ke dalam untuk cek?”

“Tidak, tidak, tidak. Langsung saja keluarkan uang itu. Saya tidak punya waktu untuk lihat pertunjukan sulapmu.”

“Pak, saya ini kurir. Bukan pesulap. Saya tidak mengerti maksud Bapak. Saya diminta ke sini untuk antar barang. Jas ini. Saya telat karena saya harus selesaikan semua jadwal pengantaran. Saya harus matikan aplikasi, baru datang ke sini. Itu makanya saya datang malam-malam begini.”

“Banyak trik kamu,” ujar lelaki tambun itu. Ia mulai terengah-engah menahan amarahnya. “Begini sudah. Saya periksa saja kamu, ya!”

“Eh, apa-apaan ini?” kata si kurir memukul tangan si tambun yang memaksa memasukkan tangan ke kantong celananya.

“Keluarkan isi kantongmu. Saya tidak main-main. Kamu mau saya pukul, ya!” ancam si lelaki tambun.

Seorang perempuan paruh baya bertubuh kecil, berambut pendek dan lurus, muncul dari ruang tengah. Rambutnya yang halus bergerak-gerak mengikuti pergerakannya.

“Ada apa ini?” tanya si istri.

“Kurir ini, Mah. Dia sudah gila. Dia datang ke sini mau main sulap. Mau kerjain kita. Uang Papah dihilangkannya.”

“Uang apa?”

“Uang yang tadi Mamah kasih.”

“Astaga. Uang untuk bayar ongkos jahit jas itu?” Perempuan ini menoleh ke arah si kurir. “Jangan main-main kamu! Itu bukan uang sedikit.”

Kurir itu bergidik ngeri melihat semburat kemarahan mengemuka di wajah perempuan itu. Tadinya ia mengira laki-laki tambun ini sedang mengerjainya. Tetapi begitu melihat sorot mata si istri, ia bergidik ngeri. Itu bukan sorot mata orang normal. Ia menduga kedua orang ini pasangan sakit jiwa. Tidak mungkin tidak. Tidak ada alasan lain kenapa ada orang yang mau tinggal ditempat seperti ini.

“Begini sudah. Saya mohon, Bapak dan Ibu lihat dulu ke dalam rumah. Mungkin saja uangnya ada. Mungkin Bapak dan Ibu ini tadi salah ambil.”

“Alah, kamu ini cari alasan saja. Kamu mau kabur kan begitu kita ke dalam,” kata si lelaki.

“Sumpah, tidak. Saya tidak akan pergi.”

“Oke, begini sudah. Saya akan masuk ke dalam. Papah tunggu di sini. Jangan sampai dia kabur!”

Perempuan itu segera masuk. Terdengar suara grasah-grusuh dari dalam. Kurir itu berharap perempuan itu segera menemukan uangnya agar kesalahpahaman ini segera berlalu. Ia ingin segera enyah dari tempt sialan ini. Namun, agak lama ia menunggu, perempuan ini keluar. Wajahnya lebih marah daripada tadi.

“Uangnya tidak ada!” kata perempuan itu.

“Sudah kamu ngaku saja. Uangnya di kamu, kan?”

“Sumpah demi Allah, Pak. Saya tidak berani ambil uang orang sebanyak itu.”

“Berarti kalau sedikit kamu berani?”

“Tidak. Saya tidak pernah ambil uang orang.”

Lelaki tambun itu menyoroti wajah si kurir. Wajah si kurir benar-benar ketakutan.

“Begini sudah. Kamu perlihatkan uang di kantong celanamu itu? Saya tahu ada uang di sana.”

“Iya. Memang ada uang. Itu uang saya.”

“Kita lihat nominalnya.”

Dengan ragu-ragu dan agak takut si kurir itu mengeluarkan uang di kantongnya. Segumpal pecahan ratusan dan lima puluhan muncul di tangannya.

“Tuh, kan benar. Itu uang saya,” kata si lelaki itu.

“Ini uang saya, Pak. Hasil kerja seharian.”

“Masak kurir punya uang sebanyak itu? Kamu nyuri itu pasti.”

“Beneran, Pak. Tadi saya juga ambil uang di ATM buat bayar kebutuhan bulanan.”

“Coba kita hitung. Jumlahnya pasti pas.”

Baru juga mereka mulai menghitung, si perempuan lebih dulu menghantam kepala si kurir dengan palu. Kurir itu roboh seketika. Tidak berhenti, perempuan ini menghantam lagi kepala kurir itu sampai tiga kali. Darah mengucur dari kepalanya yang pecah. Beberapa memercik dan singgah di wajah perempuan itu.

“Mau tipu kita, hah, kamu! Mau main sulap-sulap!”

“Mah, kamu gila apa.” Lelaki tambun segera memeriksa keadaan lelaki itu. Tidak ada denyut di pergelangan tangannya. “Kamu sudah bunuh dia!”

“Biar saja. Dia mau curi uang kita. Berani-beraninya. Dia tidak tahu apa siapa kita?”

“Sialan. Kamu ini selalu begitu. Berdarah panas. Kamu tidak capek apa dikejar-kejar terus. Sekarang bagaimana ini, kita harus apakan ini mayat?”

Istrinya diam saja. Laki-laki itu pun terus menyalahkan istrinya atas segala kejatuhan yang menimpa mereka. Istrinya membela diri dan memaki suaminya. Mereka terus saja bertengkar sampai terdengar nada pesan masuk. Dari telepon genggam kurir itu. Si suami memeriksa isi pesannya.

Ayah di mana. Kenapa lama pulang. Uang buat bayar SPP sudah ada?

“Ternyata benar dia mau curi uang kita,” ujar si lelaki tambun membaca pesan dari anak kurir itu.

“Tidak, Pah. Mamah keliru. Uangnya ada di kantong kanan daster Mamah. Uang yang Mamah kasih tadi itu dari kantong kiri. Itu uang buat belanja besok.”

Si suami melongo. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya.

“Terus sekarang mayat ini bagaimana?” tanya suaminya.

Tiba-tiba terdengar siaran berita kriminal malam. Polisi baru saja menemukan potongan tubuh seorang pria di kebun pisang. [*]

==================================

Oleh: Aliurridha / 

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Mataram. Pada tahun 2023 terpilih sebagai emerging writers dalam Makassar International Writers Festival. Bergiat di komunitas Akarpohon. Novel terbarunya berjudul Teori Pernikahan Bahagia (Falcon Publishing, 2024).

banner 300x250
Example 120x600
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *