Oleh:
Dr. H. YUSRAN LAPANANDA, SH., MH.
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah
(Buku Birokrasi Undercover dalam Imajinasi & Fantasi)
DEBUTOTA, OPINI – Saya benar-benar kaget dapat kiriman berita dari salah satu media online yang berjudul “tulisan tentang siapa bertanggungjawab utang daerah, yanto: begitu kalau menulis tapi subjektif” yang terbit pada Kamis, (27/2).
Bagi saya berita ini tak wajar manakala merespon artikel “siapa yang bertanggungjawab atas hutang-hutang di pemerintahan daerah”. Mengapa tak wajar, sebab artikel bukanlah berita yang harus dibalas dengan berita. Semestinya artikel dibalas dengan artikel.
Namun demikian, saya akan meresponnya dengan pendekatan formil dan materil dengan pendapat ahli sebagai ahli hukum keuangan daerah dan ahli hukum administrasi publik secara universal, sebagaimana pendapat saya dipersidangan dan tidak spesifik atas berita “balasan” agar bermanfaat bagi para pencari kebenaran.
PENDEKATAN FORMAL
Pertama, artikel saya menjelaskan pendapat atas kebenaran bukan pembenaran yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang melandasi penulisan artikel ini. Begitu pula, artikel saya tak menyerang siapapun namun orang-orang merasa ”kepanasaan”, kebakaran jenggot hingga memunculkan kepanikan.
Kedua, artikel ini saya tulis dengan latarbelakang pertanyaan seseorang atas artikel “warisan hutang untuk ST12” yang peristiwa ini sama sikon dengan didaerahnya, yang kemudian menanyakan siapa yang bertanggungjawab atas hutang-hutang itu sehingga judul artikel saya adalah siapa bertanggungjawab hutang-hitang di daerah bukan dipemkabgor dan tak mengulas siapa bertanggungjawab hutang-hitang di pemkabgor. Semestinya yang direspon yang mengulas hutang-hutang dipemkabgor.
Ketiga, artikel ini saya tulis menggunakan nama yang jelas sebagai penulis adalah ahli hukum keuangan daerah, sehingga artikel ini bermakna sebagai pendapat saya sebagai ahli hukum keuangan daerah.
Keempat, pendapat saya dianggap subjektif saya tak panik dan saya anggap itu benar. Mengapa?, oleh karena dalam beracara dipengadilan dan merujuk pada psikologi peradilan maka pendapat ahli dipersidangan dalam perkara korupsi atau pidana umum penilaian para pihak dalam persidangan berbeda.
Jika ahli berpendapat oleh karena diajukan tersangka/terdakwa atau penasehat hukum maka tersangka/terdakwa atau penasehat hukum menilainya objektif dan jaksa penuntut umum menilainya subjektif.
Namun, jika ahli berpendapat oleh karena diajukan jaksa penuntut umum maka jaksa penuntut umum menilainya objektif, dan tersangka/terdakwa serta penasehat hukum menilainya subjektif. Disitulah tersangka/terdakwa marah, takut, panik, keringat dingin hingga menangis karena pendapat ahli memberatkan tersangka/terdakwa.
Kelima, oleh karenanya soal objektif atau subjektif pendapat saya adalah sesuatu yang biasa bagi saya yang telah malang melintang sebagai saksi ahli keuangan daerah atau saksi ahli hukum administrasi publik pada persidangan perkara korupsi, seperti korupsi penyalahgunaan pinjaman PEN daerah, penyalahgunaan dana aermak (SiLPA aktif), penyalahgunaan jabatan tak membayar hak pihak ketiga padahal dananya ada telah ditransfer oleh kementerian keuangan ke kas daerah.
PENDEKATAN MATERIL
Pertama, setelah membaca secara utuh berita “balasan” disalah satu media online tersebut, saya berkesimpulan beritanya kabur dan tak berarah, lompat sana lompat sini, peraturan yang diberitakan tak relevan dengan artikel “siapa bertanggungjawab hutang-hitang di daerah” sehingga untuk keseluruhan saya tolak dan saya tetap dengan pendapat ahli saya.
Kedua, hutang pinjaman PEN daerah memang menjadi hutang person kepala daerah jika pinjaman PEN daerah tanpa persetujuan DPRD, jika pinjaman PEN daerah disetujui DPRD maka pinjaman PEN daeran menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah.
Arti pemerintahan daerah menurut pasal 1 angka 2 UU PEMDA adalah pemerintah daerah atau kepala daerah dan DPRD. Begitu pula ketika kepala daerah menandatangani perjanjian dengan PT. SMI tak mengikutsertakan pimpinan DPRD.
Ketiga, apakah pinjaman PEN daerah harus beroleh persetujuan DPRD atau hanya diberitahukan ke DPRD, berikut kutipan artikel saya pada siapa bertanggungjawab hutang-hutang di daerah.
“Pengembalian pinjaman PEN daerah salah satu dari hutang jangka panjang yang pembayarannya selama 8 tahun. Siapa yang bertangungjawab atas pinjaman PEN daerah?. Kepala Daerah saja, bukan pemerintahan daerah (kepala daerah & DPRD). Mengapa?.
Pemda-pemda mendasarkan pinjaman PEN daerah pada PP 23/2020 dirubah dgn PP 43/2020 jo PMK 105/PMK.07/2020 beserta perubahannya. Dlm pelaksanaannya pemda-pemda mengabaikan PP 56/2016 ttg Pinjaman Daerah.
Dalam PP 56/2020, usulan & penilaian pinjaman daerah wajib mendapat persetujuan DPRD, namun dalam PP 43/2020, pemda-pemda yang mengajukan permohonan pinjaman PEN daerah hanya memberitahukan saja kepada DPRD.
Penerapan atas kedua ketentuan ini, pemda-pemda terbelah. Banyak pemda-pemda yang mewajibkan beroleh persetujuan DPRD, lainnya hanya memberitahukan ke DPRD saja termasuk pemerintah kabupaten gorontalo.
Dari makna ini, maka pemda-pemda yang mendapatkan pinjaman PEN daerah dengan persetujuan DPRD berarti tanggungjawab pinjaman PEN daerah adalah tanggungjawab pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD), bukan tanggungjawab kepala daerah saja.
Namun, pemda-pemda mendapatkan pinjaman PEN daerah tanpa persetujuan DPRD, maka tanggungjawab penuh berada di kepala daerah saja, bukan pemerintahan daerah (kepala daerah dan DPRD).
Sehingga, persoalan pinjaman PEN daerah tak menjadi tanggungjawab DPRD. Begitu pula kepala daerah berikutnya tak bertanggungjawab secara hukum maupun atas pengembalian pokok dan bunga pinjaman PEN daerah.
Untuk mengantisipasi lepasnya tanggungjawab pengembalian pokok dan bunga pinjaman PEN daerah oleh DPRD dan kepala daerah berikutnya, maka Menteri Keuangan melalui PMK 105/PMK.07/2020 beserta perubahannya mengaturnya, pembayaran kembali pokok dan bunga pinjaman PEN daerah dipotong dari penyaluran DAU/DBH”.
Keempat, dalam berita “dikatakan DPRD hanya diberi tahu, bukan persetujuan DPRD dalam tulisan. Narasumber pada media online tersebut, meminta sang penulis membaca permendagri 77 tentang penyusunan APBD”.
Berita ini adalah kesalahan terbesar dalam pinjaman PEN daerah sebab usulan pinjaman PEN daerah itu pada tahun 2020 dengan syarat persetujuan DPRD atau hanya diberitahukan ke DPRD tak diatur dalam Permendagri 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah sebab permendagri ini nanti berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.
Pedoman pinjaman PEN daerah didasarkan pada PP 23/2020 dirubah dgn PP 43/2020 jo PMK 105/PMK.07/2020 beserta perubahannya serta PP 56/2016 ttg Pinjaman Daerah.
Kelima, begitu pula hutang penggunaan dana aermak DAK dan DAU SG yang uangnya memang siap pakai pada kas daerah yang telah ditransfer oleh kemenkeu kemudian digunakan untuk belanja lain, maka atas peristiwa ini menjadi tanggungajawab kaban keuangan selaku BUD/kuasa BUD.
Mengapa?, jika pekerjaan DAK dan DAU SG telah dilakukan perikatan dengan pihak ketiga dan pihak ketiga telah menyelasaikan pekerjaannya 100% dan tak terbayar himgga melampaui tahun anggaran 31 des itulah peristiwa yang menjadi tanggungjawab person kaban keuangan selalu BUD/kuasa BUD bukan tanggungjawab pemerintahan daerah.
Apalagi dana DAK dan DAU SG pihak ketiga pada kas daerah hanya digunakan kaban keuangan selaku BUD/PPKD untuk membayar belanja lain, itulah perbuatan melawan hukum. Permasalahannya, jika dana DAK dan DAU SG pihak ketiga tak ada SiLPA, dibayar dengan apa?.
Keenam, soal pencatatan hutang berdasarkan PP 71/2010 tentang SAP tak seperti yang dibayangkan. Dalam kasus perikatan pihak ketiga atas DAK & DAU SG, penyusun LKPD harus berkoordinasi dengan kepala daerah yang baru dan BPK wajib menolak hal ini dicatat sebagai hutang karena ini kesalahan kaban keuangan selaku BUD/kuasa sebagai person dan person telah melanggar pasal 7 dan pasal 8 PP 12/2019 dan dalam perjanjian kontrak dimana pembayaran pekerjaan dibayarkan seketika pekerjaan telah dinilai oleh para pejabat pengelolaan keuangan daerah dan pengadaan barang pada SKPD bukan melewati tahun anggaran.
Begitu pula, kaban keuangan selaku BUD/kuasa dianggap bersalah jika tak membayar hasil pekerjaan pihak ketiga sesuai prestasi pekerjaan hingga akhir tahun, jika tak disertai dengan addendum pembayaran atau didahului dengan perjanjian oleh pihak ketiga.
Ketujuh, peraturan perundang-undangan menjamin hutang belanja diakui sebagai hutang dalam LKPD, namun dengan bukti-bukti kenapa perikatan pekerjaan dan pembayaran menjadi hutang. Namun jika hutang adalah kesalahan person kaban keuangan selaku BUD/kuasa yang menggunakan uang untuk belanja lain termasuk perdis, oleh karena dana transfernya telah masuk RKUD itu bukan makna yang dimaksud dengan pengakuan hutang.
Kedelapan, terjadi ketidak selarasan atas berita yakni disatu pihak hutang kepada pihak ketiga harus diakui melalui LKPD kemudian dibayarkan pada APBD-P (perda), dilain pihak cukup reviu dan perkada dilakukan pembayaran. Mana yang benar?.
Jika cukup reviu dan perkada kemudian dilakukan pembayaran, maka sumber pembayaran berasal dari mana karena SiLPA tak ada, jika ada SiLPA hutang kepada pihak ketiga telah terbayar pada akhir tahun. Maka yang dilakukan adalah penjadwalan anggaran-anggaran yang telah ada dan anggaran paling mudah adalah TPP korbannya.
Ingatkah kita petaka di tahun anggaran 2023 dan 2024 terjadi dipemkabgor?. Di tahun anggaran 2023 tunjagan profesi guru atau sertifikasi guru triwulan IV dengan jumlah miliaran tak terbayar padahal uangnya telah ditransfer ke RKUD tapi terpakai ke belanja lainnya.
Padahal ada ancaman sanksi bagi pemda menunda penyaluran dan/atau menggunakan alokasi dana TPG dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 45 Thn 2023 tentang Petunjuk Teknis Pemberian Tunjangan Guru Aparatur Sipil Negara Daerah.
Bukan saja TPG tak terbayar tapi TPP dan ADD 1 bulan juga tak terbayar. Pada tahun anggaran 2024 sehari sebelum pileg TPG pun terbayar. Mengapa nanti sehari sebelum pileg dibayar?. Wallahu a’lam bishawab.
Pembayaran ini menggunakan Perbup 46/2021, review dan merubah perkada dan bayar. Padahal perbup ini hanya mengatur dan khusus untuk pekerjaan fisik tidak untuk non pekerjaan fisik. Akibatnya TPP 3 bulan dan ADD 2 bulan tak terbayar. Akankah terulang kemabli di 2025?.
PENUTUP
Siapakah yang bertanggungjawab atas pinjaman PEN daerah tanpa persetujuan DPRD?. Kepala daerah saja yang menandatangani perjanjian dengan PT. SMI.
Siapakah yang bertanggumngjawab atas penggunaan dana aermak (DAK dan DAU SG) atas perikatan dengan pihak ketiga yang berakibat tak terbayarnya hak-hak pihak ketiga diakhir tahun?. Kaban keuangan selaku BUD/kuasa [*]