DEBUTOTA, OPINI – Menanggapi pernyataan terbaru Meys Kiraman di gosulut.id tertanggal 10 Mei 2025, yang membela keterlibatan Abdul Manaf Dunggio dalam seleksi calon Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo, perlu ditegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar polemik administratif atau loyalitas politik. Ini adalah soal ancaman sistemik terhadap integritas ideologi negara, efektivitas sistem seleksi jabatan publik, dan kelemahan penangkalan terhadap infiltrasi radikalisme yang bersifat transnasional.
Meys menyatakan bahwa karena tidak ada bukti keterlibatan Abdul Manaf dalam HTI pasca-pembubaran, maka ia dianggap patuh pada negara. Pernyataan ini tidak hanya menyesatkan secara logika, tapi juga sangat naif jika dibandingkan dengan dinamika global pergerakan Hizb ut-Tahrir (HT) dan jejak digital HTI di Indonesia.
Kajian-kajian yang diisi oleh Abdul Manaf Dunggio, yang bertemakan sistem kepemimpinan Islam dan khilafah, masih terus tayang secara terbuka di media sosial hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah tayangan bertajuk “Esensi dan Visi Sebuah Kepemimpinan” yang ditayangkan melalui halaman Facebook Dakwah Gorontalo pada 26 September 2020. Halaman tersebut dulunya bernama Nalar Mahasiswa UNG, dan kemudian bertransformasi menjadi sarana dakwah terbuka—namun dengan jejak struktural yang jelas terkait gerakan sayap HTI, yakni Gema Pembebasan.
Dalam tayangan itu, Abdul Manaf menjadi pemateri, dan dipandu oleh seorang host yang diketahui sebagai mantan Ketua Gema Pembebasan Gorontalo. Ini bukan kebetulan. Ini adalah kelanjutan dari jejaring ideologis yang tidak pernah benar-benar terputus, bahkan setelah pembubaran formal HTI oleh pemerintah melalui Perppu No. 2 Tahun 2017.
Yang lebih penting, aktivitas ini bukan hanya rekaman sejarah. Platform tersebut hingga kini masih aktif dan menayangkan konten sejenis. Artinya, jika seseorang benar-benar telah berpaling dari ideologi khilafah dan menerima Pancasila serta demokrasi, maka ia tidak akan terus tampil di ruang-ruang yang secara konsisten menyuarakan gagasan negara Islam dan penolakan terhadap sistem demokrasi. Ketidakhadiran klarifikasi ideologis yang eksplisit dari Manaf justru memperkuat dugaan bahwa komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan belum pernah dinyatakan secara tegas.
Ini bukan soal menghukum masa lalu, tapi soal kejujuran ideologis. Jika benar telah berubah, maka nyatakanlah secara terbuka kepada publik: bahwa khilafah tidak lagi diperjuangkan, bahwa Pancasila adalah satu-satunya dasar negara yang sah, dan bahwa sistem demokrasi adalah jalan konstitusional yang diterima. Namun, sampai hari ini, yang ada justru pembelaan diam-diam, aktivitas yang berulang, dan jaringan yang masih aktif.
Jadi, saya tegaskan: kritik saya tidak lahir dari spekulasi. Ia tumbuh dari bukti-bukti konkret, dari aktivitas yang bisa diakses publik, dan dari kekhawatiran konstitusional yang sah terhadap potensi penyusupan ideologi yang ditolak oleh negara ke dalam struktur birokrasi formal.
Pertanyaan saya tetap relevan dan sah: Apakah figur dengan rekam jejak seperti ini, tanpa klarifikasi ideologis, patut menduduki jabatan strategis dalam birokrasi kita? Dan jika jawabannya dibiarkan samar, maka sesungguhnya yang sedang kita kompromikan adalah masa depan ideologi negara itu sendiri.
Ironisnya, inkonsistensi justru terlihat dari pihak-pihak yang selama ini mengusung narasi nasionalisme. Mari kita lihat komposisi politik yang mendukung pemerintahan Sofyan Puhi dan Tonny S. Junus. Mereka didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai NasDem. Ketiganya memiliki sikap tegas dalam mendukung pembubaran HTI dan menolak keterlibatan eks HTI dalam jabatan publik atau kontestasi politik.
PKB, misalnya, secara aktif mendukung pembubaran HTI sejak akhir 2016 hingga putusan final di 2019. Luqman Hakim dari PKB bahkan menegaskan bahwa eks anggota HTI patut dilarang menjadi calon presiden, wakil presiden, anggota legislatif, maupun kepala daerah, sebagaimana eks anggota PKI dilarang dalam UU Pemilu.
“Tujuan politik HTI sama persis dengan komunisme, yakni menciptakan kekuasaan politik internasional yang akan merobohkan bangunan negara-bangsa.” — Luqman Hakim, PKB.
Begitu juga Syaikhul Islam Ali, politisi PKB lainnya, yang menyatakan bahwa pembubaran HTI adalah “kemenangan umat Islam dan bangsa Indonesia.”
Partai NasDem pun menyatakan bahwa siapa pun yang tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945 tidak layak menjadi peserta pemilu, baik eksekutif maupun legislatif. Mereka menolak eks HTI masuk ke ranah legislatif maupun eksekutif karena dianggap bertentangan dengan dasar konstitusi.
Bahkan PDIP menunjukkan sikap lebih keras. Dalam proses penjaringan calon kepala daerah 2024, DPC PDIP Jember secara terbuka melarang siapa pun yang pernah terafiliasi dengan HTI, FPI, atau organisasi sejenis untuk mendaftar. Ini menunjukkan komitmen ideologis PDIP dalam mempertahankan keutuhan ideologi Pancasila.
Namun justru, dalam kasus ini, yang paling keras membela eks HTI adalah Meys Kiraman—yang kini resmi menjabat sebagai Wakil Ketua DPW PKB Provinsi Gorontalo, berdasarkan Surat Keputusan DPP PKB Nomor 1012/DPP/01/XI/2024 tentang Susunan Kepengurusan Wilayah PKB Gorontalo Sisa Masa Bakti 2021–2026, tertanggal 20 November 2024. Sebelumnya ia diketahui berasal dari PPP. Maka berpindahnya ia ke partai yang memiliki garis ideologis tegas terhadap HTI seharusnya turut membawa komitmen terhadap garis itu—bukan justru menyimpang darinya.
Fakta ini penting. Karena sebelumnya, Meys dikenal sebagai tokoh dari PPP. Perpindahannya ke PKB seharusnya membawa serta komitmen terhadap garis ideologis partai. Namun dalam realitasnya, ia justru menjadi pembela paling vokal terhadap figur yang tidak pernah secara terbuka menyatakan pelepasan ideologi khilafah.
Semua ini semakin relevan ketika dilihat dari perspektif keamanan nasional. BNPT dalam Indeks Potensi Radikalisme (IPR) 2024 menempatkan Gorontalo di posisi ke-17 secara nasional. Bahkan hingga kini, jumlah eks napiter di Gorontalo telah melampaui 10 orang, sebagian besar adalah warga asli. Artinya, ini bukan isu pinggiran, tapi cerminan dari lemahnya ketegasan pemerintah dalam menghalau infiltrasi ideologi menyimpang di tubuh birokrasi.
Dalam tulisan saya yang terbit di GNET, “Platforming the Caliphate: Hizb ut-Tahrir’s Digital Strategy and Radicalisation Risks” (9 Mei 2025), dijelaskan bahwa Hizb ut-Tahrir adalah organisasi transnasional yang telah terbukti memainkan peran krusial dalam mengantarkan individu kepada jaringan terorisme. HT mengandalkan narasi ideologis, bukan senjata. Ia bekerja melalui kanal digital, menciptakan ruang radikalisasi yang halus namun intensif. HTI adalah bagian dari jaringan ini. Di Indonesia, lebih dari 25 teroris yang bergabung dengan ISIS—termasuk Bahrun Naim—diketahui pernah berafiliasi dengan HTI.
Model HT global kini desentralistik, memanfaatkan strategi penyebaran narasi melalui media sosial dan forum digital untuk merekrut, mengindoktrinasi, dan menggerakkan massa. Ketika seseorang yang masih aktif dalam jaringan semacam itu masuk ke birokrasi, ancamannya bukan lagi potensial, tapi faktual.
Diamnya kepala daerah dan pembelaan dari tokoh-tokoh seperti Meys bukan sekadar pengabaian. Itu adalah kompromi terhadap konstitusi. Dan ketika konstitusi dikompromikan atas nama loyalitas politik, maka kita semua sedang membuka jalan bagi pelemahan ideologi negara secara sistematis. Dalam urusan ideologi negara, diam adalah kelalaian. Dan kelalaian adalah bentuk pengkhianatan. [***]
Oleh : Muhammad Makmun Rasyid / Pengurus BPET MUI Pusat – Dewan Ahli Isnu