DEBUTOTA, OPINI – Moral pada prinsipnya adalah membentuk dasar interaksi sosial manusia dan menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan penuh rasa hormat. Tanpa moral, masyarakat akan mengalami kekacauan dan disintegrasi. Dalam kehidupan ini, ilmu pengetahuan partner kunci moral yang berjalan beiringan. Namun, pada nilai yang hierarki, moral memiliki posisi yang lebih utama.
Secara prinsip, Moralitas ini melibatkan prinsip-prinsip yang membedakan antara tindakan yang dianggap benar dan salah. Setiap individu yang memiliki moral yang baik akan memahami pentingnya tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan terhadap sesama. Moral yang baik juga dapat menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan yang baik pula dan Moral yang baik, mampu mendorong individu untuk berpikir sebelum bertindak dan mempertimbangkan dampak dari tindakan mereka terhadap banyak orang.
MORALITAS PEJABAT DIERA MODERN
Pejabat publik seharusnya menjadi teladan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Mereka harus menunjukkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan dan tindakan yang mereka ambil. Namun, ketika moralitas pejabat runtuh, mereka tidak lagi memprioritaskan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik yang tidak etis.
Sejak 2018, Kabupaten Gorontalo telah diserang dengan persoalan moralitas pejabat. Sebuah peredaran informasi, yang sangat memanjakkan publik, sebab perkara hadir disaat adat dan budaya yang menjunjung tinggi nilai keagamaan, menjadi filosofi daerah. Terlebih, hal itu dipertontonkan oleh pemimpin publik dari tingkatan terbawah hingga pemimpin yang memiliki kewenangan tertitinggi.
Lonjakan krisis moralitas di kalangan pemimpin dan pejabat ini, tidak hanya mencoreng citra individu tertentu, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang mereka wakili. Mulai dari guru ngaji, guru sekolah, kepala desa, kepala dinas, bupati dan bahkan yang terbaru adalah isu beberapa anggota DPRD, menjadi konsumsi publik pada beberapa tahun belakangan. Hal ini, tentu memicu perdebatan tentang etika individu yang memiliki pengaruh publik, juga mempertanyakan nilai moral yang seharusnya menjadi dasar kepemimpinan mereka.
Degradasi moralitas seperti ini, sejatinya bukanlah fenomena baru. Intensitas dan eksposurnya yang semakin meningkat di era sekarang, menjadi penyebab cepatnya kredibilitas seseorang ambruk seketika. Teknologi informasi yang berkembang pesat telah membuka tabir perilaku pemimpin publik yang dulunya tersembunyi. Hari ini, siapa saja dapat menyaksikan tindakan yang jauh dari nilai-nilai moral melalui pemberitaan media massa atau viralnya unggahan media sosial.
Salah satu contohnya adalah, rekaman video dan capturan percakapan pelaku yang bocor ke awak media, tentu mendukung alasan tersendiri dari eksistensi yang bersangkutan. Puluhan tahun karir positive yang dibangun, hancur seketika saat isu itu beredar kepublik. Dampaknya sangat banyak, mulai dari lingkungan keluarga bahkan sampai diwilayah kerjanya akan juga kena sanksi sosial. Wibawa yang hancur, keluarga yang ikut menanggung malu tentu akan menghiasi sisa karir dan kehidupannya hingga diantar keliang lahat nanti. Luar biasanya, ada pejabat yang bangga akan prestasi itu. Walaupun dia harus menghutang sisa gajinya untuk menutup rapat perkaranya itu ditingkat hukum.
Berbicara moral tentu bukan hanya berfokus pada hubungan gelap dengan bukan pasangan sahnya, mentalitas dan keseharian pejabat dan pemimpin publik kita juga harus diperhatikan. Selain korupsi, sejauh ini, Perhugelan menjadi peringkat pertama di liga mental pejabat kita.
Pada tulisan ini, kita bersepakat bahwa fakta-fakta yang mulai terungkap dipublik menimbulkan kemarahan masyarakat terhadap pemimpin. Saat ini mungkin belum terlalu berpengaruh, tapi jika hanya didiamkan juga tidak bisa menjamin adanya peningkatan kepercayaan publik bumi serambi madinah. Pasalnya, moralitas yang sejatinya menjadi dasar kehidupan bersosial, bisa jadi dasar penilaian atas hancurnya sistem sosial karena jika hidup tanpa moral akan mengalami kekacauan, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Misalnya, zina dan korupsi adalah contoh nyata bagaimana ilmu tanpa moral dapat menghancurkan sistem sosial.
Esensi dari tulisan ini adalah ketegasan kepemimpinan baru terhadap isu sosial yang berlangsung diseluruh tingkatan masyarakat. Jangan sampai, dosa rezim lama menjadi turunan yang tak terselesaikan meski tak berperilaku sama dengan mantan pemimpin sebelumnya. Sebab kejadian silam, menjadi contoh bahwa kecerdasan tidak menjamin moralitas dan mental restorasi memastikan kekuasaan digunakan dengan sangat tepat.
Tantangannya adalah, mengakhiri musim moral bobrok ini. Sebab, krisis moralitas yang terjadi sekarang ini juga berdampak pada cara masyarakat memandang hukum. Ketika pemimpin dan pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru melanggar hukum, masyarakat kehilangan rasa hormat terhadap sistem yang ada. Ketidakadilan yang dirasakan akhirnya menciptakan sikap apatis dan sinisme yang membahayakan stabilitas sosial. Dalam konteks ini, moralitas tidak lagi dianggap sebagai nilai utama dalam kepemimpinan publik, melainkan sekadar atribut yang bisa diabaikan demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Satu hal yang pasti dan dimengerti oleh kita semua, Ilmu tanpa moral adalah hal yang sangat berbahaya. Sebab moralitaslah yang menjaga integritas individu pada pandangan masyarakat umum. Peristiwa berjama’ah ini, tentu mengaburkan pandangan dan kepercayaan generasi berikut terhadap pemimpinnya dan pejabatnya. Langkah seharusnya dilakukan oleh pemimpin baru adalah penyebarluasan tentang pentingnya integritas moral dikalangan pejabat. Tidak hanya pada aspek kognitif atau intelektual saja, pembentukan kembali karakter pejabat bisa jadi landasan moral kuat untuk mengamankan jalannya pemerintahan yang dipimpin.
Hal lucu diakhir tulisan ini adalah, teror pasangan pejabat terhadap suami atau istrinya yang mewanti-wanti atas efek perjalanan dinas. Semoga masih aman…!!!
Terakhir, Semoga Pemimpin baru tidak hanya mempertontonkan seremoni yang menjadi aktifitas membosankan. Publik menunggu gerakan perubahan, yang bukan hanya membersihkan dendam atas dukungan politik sebelumnya, namun alangkah bijaknya jika mengakhiri liga moral ini, dengan merestart perilaku bawahannya.
Oleh : Jeffry As. Rumampuk / Founder Butota Group