[Foto Istimewa]
DB – TAJUK, Polemik pertambangan Di Provinsi Gorontalo, sampai detik ini belum ada titik penyelsaian. Cara pandang berpikir stakeholder selalu bersebrangan, fenomena ini sering terjadi yang mana Hati nurani ditabrakan oleh regulasi yang amat kaku sehingga paradigma hukum perlu dibenahi.
Indonesia dalam KUHP menganut sistem Civil Law yang berorientasi pada aliran Positivisme sehingga disinilah hati nurani ditabrakan dengan sistem yang ada, hal ini diperkuat oleh adagium Lex Dura Sed Tamen Scripta “Hukum (Undang – undang) memanglah kejam, tapi seperti itulah yang tertulis”.
Aparat penegak hukum sering dilema dengan sistem yang ada, satu sisi ada hajat orang banyak untuk makan dan disisi lainnya ada kewajiban dalam menegakkan sistem yang ada, lantas siapa yang harus disalahkan? Pemerintah?, APH?, atau Rakyat?
Jelas yang patut disalahkan adalah keegoisan manusia itu sendiri yang rela melakukan apapun demi keuntungan pribadi, hal ini didukung oleh teori Thomas Hobbes Homo Himini Luppus Bellum Omnium Contra Omnes “Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya dan akan berperang dengan semua manusia”. Kerakusan oleh manusia dapat menghancurkan spesiesnya sendiri, maka teori thomas hobbes ini adalah gambaran dimana suatu keadaan belum adanya hukum.
Sampai dengan saat ini ketika hukum itu ada, segelintir kelompok elit memanfaatkan hukum bukan menggunakannya. Dibuatlah regulasi yang cenderung untuk para elit, contohnya izin pertambangan hanya melalui Pusat sehingga lahirnya stigma Hukum itu bagaikan Pisau yang tajam kebawah dan tumpul keatas.
Hukum Dimanfaatkan Oleh Elit Politik
Karl Max Mengatakan Hukum itu adalah alat Politik inilah stigma yang dibangun saat ini oleh para elit, zaman orde baru kekerasan sering digunakan untuk penyelesaian negara dalam menindas rakyat sehingga ketika reformasi hukum yang digunakan untuk menindas rakyat, sampai hari ini tidak ada regulasi yang pro terhadap rakyat.
Cara pandang elit politik seperti ini perlu diberikan pendidikan soal hukum, mengenai tujuan dan nilai keadilan dalam penegakkan supremasi hukum. Adagium hukum mengatakan Politiae legius non leges politii adoptandae artinya “politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya”, Jelas cara pandang ini harus diubah dari sistem hukum kolonialisasi menuju ke sistem hukum modernisasi.
Dengan adanya sistem Desentralisasi, seharusnya mempermudah sistem pemerintahan maupun rakyat apalagi dalam hal pengurusan administrasi. Namun sampai sekarang pengurusan perizinan pertambangan rakyat, sangat rumit sama halnya dengan keadaan bumi pertiwi saat ini. Dimana pribumi jadi budak sedangkan komprador asing, sedang asik pesta merompak.
UUD 1945 adalah Hukum tertinggi (Lex Superiori) menjelaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam digunakan untuk kesejahteraan rakyat yang didasari adagium Salus Populi Suprema Lex Esto “Hukum Tertinggi adalah Kesejahteraan Rakyat”. Namun realita saat ini Penegakkan Hukum sering bertabrakan dengan apa yang rakyat inginkan.
Apa yang harus dilakukan..?
Dengan sistem yang kaku saat ini susah untuk menyatukan presepsi masing – masing stakeholder, sehingga Positivisme Hukum perlu beralih pada Progresifitas Hukum bahwa Hukum Itu Untuk Manusia Bukan Manusia untuk hukum. Perlu ada perancangan undang – undang dalam mempermudah masyarakat untuk mengurus perizinan tambang rakyat sehingga bisa mencegah terjadinya konflik.
Redaksi menekankan, dengan melakukan reformasi hukum kolonialisasi ke modernisasi, sangat diperlukan apalagi titik permasalahan pertambangan di Gorontalo saat ini adalah Perizinan. Sudah ada beberapa Izin Tambang yang diajukan namun belum ada kejelasan inilah permasalahan utama, sisi lain rakyat harus tunduk pada regulasi dan sisi lainnya rakyat perlu menambang demi keberlansungan hidup mereka.
Pemerintah harus memberikan solusi terkait perizinan ini perlu ada aturan khusus yang menyampingkan aturan umum dalam mengatur hal yang Sama (Lex Specialis Derogat Legi General). Salah satu bukti bahwa daerah dapat memiliki aturan khusus adalah Ibu Kota Jakarta yang diatur pada UU Nomor 2 Tahun 2024, maka disinilah peluang rakyat gorontalo dapat mengajukan hal yang serupa, urgensinya adalah sebagai penyelesaian konflik yang terjadi saat ini.
Tidak terlepas dari tujuan hukum yang memberikan kepastian pada rakyat pribumi untuk perizinan dan dapat dikawal langsung, keadilan, dan kebermanfaatan untuk mencegah terjadi konflik yang terjadi. Hal ini sesuai pada PP Nomor 23 Tahun 2010 yang mengatur soal perizinan yang mana gubernur memiliki kewenangan namun ketika hadirnya Omnibus Law semua kewenangan perizinan pertambangan diambil alih oleh pusat, maka dari itu DPRD harus mengambil sikap tegas dalam menyuarakan hak rakyat apalagi soal regulasi. [***]