DEBUTOTA – TAJUK, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2024 sudah di depan mata, dan tugas kita sebagai warga negara adalah memilih pemimpin yang berkualitas untuk memimpin daerah ini ke arah yang lebih baik. Memntum untuk memilih pemimpin bukanlah sekadar rutinitas demokratis, melainkan langkah krusial yang akan membentuk masa depan dengan seluruh rangkaian pembangunannya.
Rakyat saat ini, wajib mengambil peran untuk menentukan arah pembangunan disegala lini, memilih dan memilah calon pemimpin, tentu menjadi bagian yang penting untuk ditentukan. Jangan sampai terpengaruh, dengan janji-janji manis dan rayuan yang tidak sesuai nurani.
Pemimpin yang memiliki etitut dan Transparan sebagai pijakan utamanya, sangat diimpi-impikan. memiliki akhlak yang baik, jujur akan membangun kepercayaan rakyat dan mengurangi potensi yang tidak diinginkan, semisalnya korupsi. Keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan akuntabilitas merupakan berkomitmen pada pelayanan kepada masyarakat.
Lalu bagaimana dengan upaya pencegahan untuk memilih pemimpin yang “tidak baik”…?? salah satunya adalah jangan memilih calon pemimpin yang mempunyai jiwa predator.
Calon pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang inovatif untuk masa depan. Bukan pemimpin yang mempunyai niatan untuk mempertahankan karirnya dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan. Predator dalam hal ini, calon yang memiliki orientasi pada kekuasaan. jiwa kepemimpinan seperti ini merupakan hipotesis atas pengaruh sanak keluarga atau pendukung dalam membentuk nilai, moral, maupun orientasi kekuasaan, yang sejatinya masih merasa nyaman dengan kekuasaan yang ada.
Sehingga terjadi model kekuasaan monarki dengan trend politik yang tidak didasari aspirasi. Trend politik seperti ini merupakan bentuk kolektif dari patronase elit dalam wujud kolektif, yang didasarkan pada ego orang terdekatnya. Hal ini, merupakan serangkaian kolaborasi mengabungkan kekuatan modal, dengan kekuatan politik yang mendayagunakan sumber daya elit politik pada suatu jabatan, untuk kekuasaan atau jabatan
Kondisi politik inilah yang cukup mengkhawatirkan, karena ekses negatif dari hasrat berkuasa yang sering menimbulkan persoalan di ruang publik. Sebab, hal tersebut akan membuat martabat dipusaran politik predator menjadikan kondisi kepemimpinan yang tidak inovatif dimasa depan. Tentu kondisi ini akan tidak sejalan dengan esensi era globalisasi dan revolusi industri 5.0, dimana pemimpin yang berkualitas harus memiliki visi yang inovatif dan siap menghadapi tantangan masa depan dengan menggali potensi-potensi untuk meningkatkan daya saing yang lebih baik.
Kita tertawa melihat kelakuan para calon pemimpin yang ketika berkampanye, Kepalsuan dan kebohongan begitu kuat tercium di udara. Dalam banyak hal, perilaku mereka menghibur, namun dengan cara-cara yang bisa membuat sakit perut.
Inilah bentuk perilaku politikus predator. Mereka adalah politikus yang memegang kekuasaan bukan untuk berfikir demi kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memperkaya diri. Perilaku mereka kerap kali mencerminkan sikap tak tahu diri. Bagaimana mungkin mantan koruptor, pelaku pembunuhan atau yang tidak bermoral, bisa mencalonkan diri menjadi pemimpin Daerah…???
Perlu diketahui, pemimpin predator adalah ciri dari politik pemangsa. Para politikus predator masuk ke dunia politik dengan niat jahat. Mereka ingin bertindak seenaknya, demi memperkaya diri dan kelompoknya. Korbannya adalah kepentingan rakyat luas yang terus terjebak pada kemiskinan dan kebodohan. Mereka berteriak untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial, namun nuansa kepalsuan dan kebohongan amat terasa di kata dan perilaku yang ada. [***]