BUTOTA, TAJUK POLITIK – Terpilihnya Iskandar Mangopa secara aklamasi sebagai Ketua DPD II Golkar Kabupaten Gorontalo periode 2025-2030 dalam Musda XI, mengukuhkan arah baru kepemimpinan partai beringin di wilayah ini. Setelah melalui proses verifikasi yang ketat hingga menggugurkan tiga bakal calon lainnya yaitu Zulfikar Usira, Hendra Hemeto, dan Wilvon Malahika, Iskandar kini mewarisi tongkat estafet dengan beban ekspektasi yang tidak ringan.
Musda yang sempat tertunda dan penuh dinamika menunjukkan bahwa proses demokratisasi internal Golkar Kabupaten Gorontalo masih dalam tahap pencarian format ideal. Ketua DPD I Idah Syahidah secara tegas menolak intervensi DPP, menegaskan pentingnya demokrasi lokal dengan pernyataannya, “Percayakan kepada kami selaku orang didaerah. Kami yang lebih tau bagaimana kondisi kader kader kami di daerah.”
Iskandar sendiri mengakui kejutan atas kepercayaan yang diberikan. Secara politik, dia mengatakan bahwa tidak pernah menyangka dapat dipercaya untuk menjadi pemimpin partai beringin itu. “Saya tidak menyangka saya dipercayakan oleh teman teman memimpin Golkar Kabupaten Gorontalo. Banyak yang harus kita perbuat kedepan,” ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan kesadaran akan tantangan besar yang dihadapi.
Warisan Berat Pasca Kekalahan Pilkada 2024
Secara pribadi, Iskandar harus segera meninggalkan euforianya, sebab tantangan terberatnya adalah mempelajari warisan pasca kekalahan di Pilkada 2024 yang menjadi akar permasalahan. Hal itu tentu menjadi pembelajaran krusial, karena partai Golkar telah membuang modal politik besar saat itu.
Bayangkan, partai Golkar saat mengikuti Pilkada 2024 menjagokan pasangan Hendra-Warsito dengan kekuatan diatas kertas yang sangat kuat. Golkar menjadi partai terkuat di DPRD dengan menguasai 9 dari 40 total kursi atau 22,5 persen. Hendra Hemeto yang saat itu adalah ketua DPD II Golkar sekaligus Wakil Bupati petahana dengan track record baik, ditambah dengan survei awal tertinggi yakni 29,8 persen, seharusnya bisa memenangkan prosesi tersebut. Apalagi dengan dukungan elektabilitas 52.724 pemilih Golkar di Pileg 2024 yang mencapai 20,46 persen, plus struktur partai hingga 18 kecamatan, semua itu adalah modal kemenangan yang seharusnya tidak terbuang sia-sia.
Namun kenyataan di lapangan berbicara lain. Pasangan Hendra-Warsito hanya meraih 50.526 suara atau 21,58 persen dan menempatkan mereka di posisi ketiga. Mereka kalah dari survei awal dengan penurunan 8,22 poin, kalah di basis sendiri Limboto dengan hanya meraih 18,67 persen, kalah telak dari pemenang dengan selisih 34.216 suara, bahkan kalah dari Roni Sampir yang hanya seorang Sekretaris Daerah dengan selisih 29.089 suara.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa modal politik sebesar apapun tidak ada artinya jika mesin partai tidak solid, kader tidak loyal, strategi kampanye salah, dan branding tidak kena di masyarakat. Di satu sisi, banyak pemilih Golkar saat itu berkhianat karena koalisi tidak kompak, mesin partai yang macet, beban status petahana, kampanye yang terkesan elitis, dan komunikasi yang tidak efektif dengan pemilih grassroot.
Menghadapi kondisi tersebut, Iskandar Mangopa memiliki sejumlah target strategis yang harus dicapai. Pertama adalah konsolidasi internal dan rekonsiliasi pasca-Musda. Ia harus menyatukan kader pasca-dinamika Musda yang sempat memanas dengan beredarnya dua kekuatan: surat diskresi DPP versus dukungan 16 pengurus kecamatan. Merangkul calon-calon yang gugur dalam verifikasi untuk menjaga soliditas internal menjadi kunci, termasuk membangun komunikasi intensif dengan seluruh 18 pengurus kecamatan di Kabupaten Gorontalo.
Kedua adalah mempertahankan dan meningkatkan perolehan kursi legislatif. Berdasarkan data historis, Golkar meraih 6 kursi DPRD Kabupaten Gorontalo pada 2014, naik menjadi 7 kursi pada 2019, dan kembali meningkat menjadi 9 kursi pada 2024 dari total 40 kursi. Target untuk 2029 adalah minimal 10 hingga 12 kursi untuk memperkuat posisi Golkar sebagai partai dominan di DPRD Kabupaten Gorontalo.
Ketiga adalah fokus memenangkan Pilkada berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mendukung kader internal atau membangun koalisi strategis, memanfaatkan momentum kemenangan Gusnar-Idah di Pilgub 2024 yang meraih 295.983 suara sebagai modal politik, serta belajar dari kemenangan Sofyan Puhi-Tony Junus yang meraih 84.742 suara dengan dukungan koalisi PDIP-NasDem-PKB.
Keempat adalah membesarkan basis pemilih tradisional dengan mengoptimalkan 18 kecamatan yang menjadi wilayah basis Golkar, memperkuat struktur partai hingga tingkat desa dan kelurahan, serta meningkatkan partisipasi pemilih muda dan perempuan.
Kelima adalah memperkuat sinergi dengan pemerintahan daerah. Iskandar perlu membangun hubungan harmonis dengan Bupati Sofyan Puhi periode 2025-2030 yang juga merupakan pembina politik, memanfaatkan posisi strategis 9 anggota DPRD Golkar untuk mendukung program pembangunan daerah, serta menjaga komunikasi dengan Gubernur Gusnar Ismail dan Wagub Idah Syahidah yang juga menjabat sebagai Ketua DPD I Golkar Gorontalo.
Tantangan terbesar yang dihadapi Iskandar adalah mengatasi trauma kekalahan Pilkada 2024 yang telah membuat mesin partai macet. Fakta menyakitkan menunjukkan bahwa Golkar meraih 52.724 suara atau 20,46 persen di Pemilu 2024, namun hanya mampu mengonversi menjadi 50.526 suara atau 21,58 persen untuk Hendra-Wasito. Ini menunjukkan mesin partai tidak bergerak maksimal dan mengindikasikan keretakan internal yang serius.
Hendra Hemeto kalah di kecamatan domisilinya sendiri di Limboto dengan hanya meraih 5.352 suara atau 18,67 persen. Sementara Roni Sampir menang telak di Kecamatan Telaga sebagai basis asalnya dengan 7.255 suara atau 53,23 persen, dan Sofyan Puhi juga menang di Telaga Jaya dengan 4.200 suara atau 56,55 persen. Loyalitas kader menjadi pertanyaan besar: mengapa 52.724 pemilih Golkar tidak otomatis memilih calon Golkar?
Implikasi bagi Iskandar sangat jelas. Ia harus merekatkan soliditas internal yang retak, membangun kepercayaan bahwa mesin partai akan kembali solid, dan mengatasi sindrom kader yang hanya loyal di Pileg tetapi tidak di Pilkada. Warisan dinamika Musda juga meninggalkan luka tersendiri. Tiga calon yang gugur verifikasi berpotensi membawa kekecewaan di basis masing-masing, terutama Hendra Hemeto yang memiliki surat diskresi DPP namun gagal di verifikasi, menciptakan potensi perpecahan yang harus dikelola dengan strategi rekonsiliasi yang matang.
Ekspektasi tinggi juga menjadi beban tersendiri menghadapi realitas kekalahan Pilkada 2024. Terdapat paradoks yang harus dijawab: di satu sisi Golkar naik dari 6 kursi pada 2014 menjadi 7 kursi pada 2019 dan 9 kursi pada 2024 di DPRD Kabupaten Gorontalo, namun di sisi lain gagal total di Pilkada 2024 dengan kekalahan yang memalukan di posisi ketiga dari 4 pasangan calon.
Pertanyaan kritis dari kader pun bermunculan. Jika Golkar adalah partai terkuat dengan 9 kursi, mengapa kalah di Pilkada? Jika Hendra memimpin survei dengan 29,8 persen, mengapa merosot menjadi 21,58 persen di hasil akhir? Jika ada 52.724 pemilih Golkar, mengapa tidak semua loyal memilih calon Golkar? Beban psikologis ini membuat kader trauma dengan kekalahan, pemilih mulai meragukan kemampuan Golkar, dan calon di pemilu berikutnya akan berpikir dua kali untuk menerima rekomendasi Golkar.
Kompetisi internal dengan kader senior dan fragmentasi kepemimpinan menambah kompleksitas permasalahan. Hendra Hemeto adalah mantan Ketua DPD II yang berhasil menaikkan Golkar dari 6 ke 9 kursi, memiliki surat diskresi DPP, tapi gugur verifikasi dan kalah di Pilkada. Zulfikar Usira adalah calon yang juga gugur namun merupakan Ketua DPRD terpilih 2024-2029. Wilvon Malahika adalah calon lain yang gugur. Iskandar Mangopa sebagai pemimpin baru harus mengelola semua ego ini dengan risiko fragmentasi yang tinggi.
Pendukung Hendra merasa dirugikan karena punya diskresi DPP tapi tidak diakui. Pendukung Zulfikar dan Wilvon merasa tidak diakomodasi. Iskandar sendiri bisa dianggap “menang untung” karena rival gugur, bukan menang elektoral. Persaingan tidak sehat internal juga muncul dengan isu dukungan siluman ke calon lain, kecemburuan antar kader yang tidak terkelola, serta ego senior versus junior yang bentrok.
Konsolidasi partai pesaing yang makin solid juga tidak bisa diabaikan. NasDem menunjukkan pertumbuhan signifikan dengan kenaikan kursi yang konsisten, PDIP mempertahankan posisi kuat, sementara Gerindra mendapat efek ekor jas dari kemenangan Prabowo secara nasional.
Dari sisi struktural dan organisasi, terbatasnya kepemimpinan daerah Golkar di Provinsi Gorontalo menjadi persoalan serius. Berdasarkan fakta 2024, hanya ada 1 kepala daerah aktif di Provinsi Gorontalo, 2 wakil kepala daerah, dan Ketua DPRD hanya di 3 daerah yaitu Pohuwato, Kota Gorontalo, dan Kabupaten Gorontalo. Bahkan kehilangan posisi wakil ketua DPRD di Gorontalo Utara.
Khusus untuk Kabupaten Gorontalo periode 2025-2030, situasinya lebih menantang. Bupati Sofyan Puhi berasal dari Nasdem bukan Golkar, Wakil Bupati Tony Junus dari PDI Perjuangan, juga bukan Golkar, meskipun Ketua DPRD dari Golkar dengan 9 kursi terbanyak. Implikasinya, kehilangan kontrol eksekutif membuat sulit mengimplementasi program partai.
Fragmentasi dukungan dan disloyalitas pemilih menjadi fenomena yang harus diatasi. Pada Pileg 2024 sebanyak 52.724 orang memilih Golkar, namun di Pilkada 2024 hanya 50.526 orang memilih Hendra yang merupakan calon Golkar. Hilang minimal 2.198 suara atau 4,2 persen, dengan realitas kemungkinan lebih banyak yang pindah karena ada pemilih baru yang masuk.
Penyebab disloyalitas ini antara lain karena caleg fokus pada basis personal bukan membangun loyalitas partai, pemilih pragmatis yang memilih Golkar untuk DPRD karena dapat jatah tapi memilih calon kuat untuk eksekutif, tidak ada punishment untuk pemilih yang “berkhianat”, serta sistem pemilu yang membuat pemilih bebas melakukan split ticket voting.
Implikasi politiknya, untuk periode 2025-2030 Golkar kehilangan akses langsung ke Pemkab Gorontalo. Bupati bukan dari Golkar, Wakil Bupati bukan dari Golkar, sehingga hubungan dengan eksekutif akan lebih sulit dan program partai bergantung pada goodwill Bupati dari partai lain. Bandingkan dengan periode 2020-2025 dimana Bupati Nelson Pomalingo dari PPP dan Wakil Bupati Hendra Hemeto dari Golkar, sehingga Golkar masih punya akses langsung ke kebijakan daerah.
Tantangan Sosial-Ekonomi dan Digital
Tantangan sosial-ekonomi juga tidak kalah berat. Tuntutan kinerja nyata dari masyarakat semakin menguat dengan pemilih yang semakin kritis dan pragmatis, ekspektasi program pro-rakyat yang terukur, serta akuntabilitas penggunaan anggaran partai. Keterbatasan sumber daya finansial untuk operasional partai yang membutuhkan dana besar, kompetisi dengan partai lain yang lebih kuat secara finansial, serta ketergantungan pada donatur yang dapat mempengaruhi independensi menjadi kendala tersendiri.
Dinamika media sosial dan digital menambah kompleksitas tantangan. Generasi milenial dan Gen Z yang merupakan pemilih dominan membutuhkan pendekatan digital yang berbeda, persepsi negatif yang cepat menyebar di media sosial, serta kompetisi narasi dengan partai lain di ruang digital harus dikelola dengan baik.
Kondisi Politik Golkar Gorontalo Tahun 2025
Kondisi politik Golkar Gorontalo tahun 2025 menunjukkan era baru kepemimpinan perempuan di tingkat provinsi. Pada Juli 2025, Idah Syahidah Rusli Habibie terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD I Golkar Provinsi Gorontalo periode 2025-2030. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin Golkar Gorontalo dan juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Gorontalo periode 2025-2030, menggantikan Rusli Habibie yang memimpin selama 17 tahun dalam 3 periode berturut-turut.
Dinamika Musda tingkat Kabupaten dan Kota pada November 2025 menunjukkan perkembangan yang beragam. Di Boalemo, Musda berhasil digelar dengan lancar. Di Gorut, Thariq Modanggu terpilih secara aklamasi pada 24 November 2025. Sementara di Kabupaten Gorontalo, Musda tertunda dari 6 Desember menjadi 9 Desember 2025 karena dinamika internal.
Posisi Golkar di pemerintahan Gorontalo 2025 di eksekutif menunjukkan Wakil Gubernur dijabat Idah Syahidah dari Golkar, namun tidak ada bupati atau walikota dari Golkar, meskipun terdapat minimal 2 posisi wakil kepala daerah. Di legislatif, Golkar menguasai 8 kursi di DPRD Provinsi sebagai yang terbanyak meskipun hanya unggul tipis, dengan Ketua DPRD di 3 dari 6 kabupaten atau kota.
Kondisi keuangan dan organisasi menunjukkan struktur partai hingga tingkat kecamatan relatif solid, mesin partai masih berfungsi dengan baik di basis tradisional, namun menghadapi tantangan dalam mobilisasi pemilih muda dan digital.
Antara Harapan dan Kekhawatiran
Kepemimpinan Iskandar Mangopa dimulai di tengah kondisi yang sangat tidak mudah dengan warisan berat yang diterima. Trauma kekalahan Pilkada 2024 yang memalukan di posisi ketiga dari 4 pasangan calon, mesin partai yang terbukti macet dan tidak bisa diandalkan, kader yang tidak solid dan pemilih yang tidak loyal, kehilangan akses ke pemerintahan daerah karena Bupati dan Wabup bukan dari Golkar, dinamika internal pasca-Musda yang masih panas, serta ekspektasi tinggi untuk melanjutkan tren kenaikan kursi dari 6 ke 7 ke 9 dan seterusnya, semua itu menjadi beban yang harus dipikul.
Namun di sisi lain, Iskandar juga memiliki modal yang tidak sedikit. Dengan 9 kursi DPRD Kabupaten Gorontalo atau 22,5 persen sebagai yang terbanyak, dukungan penuh dari DPD I Golkar Provinsi yang dipimpin Idah Syahidah sebagai Wagub, basis pemilih tradisional 52.724 suara atau 20,46 persen, struktur partai hingga 18 kecamatan, pengalaman berkarier dari bawah sejak 1998, serta legitimasi aklamasi dari Musda XI, semua itu adalah aset yang bisa dioptimalkan.
Pertanyaan krusial yang harus dijawab Iskandar adalah apakah bisa merekatkan kembali mesin partai yang terbukti macet. Jika tidak, Golkar akan kalah lagi di semua kontestasi. Jika ya, bagaimana caranya dan ini belum terbukti. Apakah bisa memulihkan kepercayaan pemilih yang kecewa. Jika tidak, 52.724 suara bisa turun drastis di 2029. Jika ya, butuh program konkret dan kerja keras selama 5 tahun.
Iskandar juga harus mampu mengelola fragmentasi internal yang melibatkan Hendra Hemeto dengan surat diskresi DPP yang kalah Pilkada dan gugur verifikasi, Zulfikar Usira sebagai anggota DPRD yang gugur verifikasi, serta Wilvon Malahika yang juga gugur verifikasi. Bagaimana merangkul mereka tanpa terlihat lemah menjadi pertanyaan penting.
Kemampuan membangun hubungan dengan Pemkab yang bukan dari Golkar juga krusial. Bupati Sofyan Puhi dari Nasdem adalah rival di Pilkada, Wabup Tony Junus dari PDI P, bagaimana memastikan program Golkar tetap jalan menjadi tantangan tersendiri. Terakhir, apakah punya strategi untuk Pilkada 2029 dengan tidak mengulangi kesalahan Hendra-Wasito, memilih calon yang punya karakter merakyat bukan elite, memastikan mesin partai solid 100 persen tanpa bocor, serta basis yang loyal tanpa split ticket voting.
Skenario optimis bisa terwujud jika berhasil melakukan rekonstruksi total mesin partai agar solid kembali, memulihkan kepercayaan pemilih melalui program nyata selama 5 tahun, mengelola fragmentasi internal dengan rekonsiliasi matang, menjalin hubungan baik dengan Pemkab tanpa musuhan politik, mempersiapkan Pilkada 2029 sejak 2026 dengan figur tepat, sehingga hasilnya Golkar menang Pilkada 2029 dan naik menjadi 12 kursi DPRD.
Namun skenario pesimis juga mengintai jika mesin partai tetap macet dengan kader yang tidak solid, pemilih semakin tidak percaya dan basis mengecil, fragmentasi internal makin parah hingga terjadi perpecahan, hubungan dengan Pemkab rumit sehingga program partai mandek, persiapan Pilkada berikutnya terlambat dengan calon alakadarnya, dan hasilnya Golkar kalah lagi di Pilkada serta turun menjadi 6 hingga 7 kursi DPRD.
Iskandar Mangopa menyatakan, “Kutau yang kumau. Maka rasa semua kader harus mampu dirasakan pemimpin.” Pernyataan ini indah, tapi realitas politik jauh lebih keras. Kekalahan Pilkada 2024 membuktikan bahwa “rasa” saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah strategi konkret untuk memperbaiki mesin partai, kerja keras untuk merebut kembali kepercayaan, kepemimpinan tegas untuk mengatasi fragmentasi, serta visi jelas untuk 5 tahun ke depan.
Waktu akan membuktikan apakah Iskandar Mangopa mampu menjadi the right man in the right time yang membawa Golkar Kabupaten Gorontalo bangkit dari keterpurukan, atau justru menjadi saksi kehancuran partai beringin di Kabupaten Gorontalo. Satu hal yang pasti, tidak ada lagi ruang untuk kesalahan. Kekalahan Pilkada 2024 adalah peringatan keras. Jika Golkar gagal di Pilkada 2029, maka itu akan menjadi awal dari akhir dominasi Golkar di Kabupaten Gorontalo.
Tantangan terbesar Iskandar bukan hanya soal angka kursi atau persentase suara. Tantangan terbesar adalah membuktikan bahwa Golkar masih relevan, masih dipercaya, dan masih layak memimpin Kabupaten Gorontalo. [**]



















