Scroll untuk baca artikel
banner 350x300
Example floating
Example floating
Tajuk & Opini

Kasus Kelebihan Bayar TKI DPRD Kabgor, Ketika Kejaksaan (Mumpung Belum) Salah Sasaran

2549
×

Kasus Kelebihan Bayar TKI DPRD Kabgor, Ketika Kejaksaan (Mumpung Belum) Salah Sasaran

Sebarkan artikel ini
Foto : Ilustrasi Istimewa]
Example 468x60

DEBUTOTA – TAJUK |Melihat progres penanganan perkara dugaan korupsi Tunjangan Komunikasi  Intensif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gorontalo (DPRD Kabgor) saat ini, kita dipertontonkan dengan fakta-fakta tragedi keadilan yang terbalik. Dalam rimba hukum Indonesia, tidak ada yang lebih tragis dari sebuah proses penegakan hukum yang salah sasaran. Kasus kelebihan pembayaran DPRD Kabgor senilai hampir Rp 3 miliar ini, menjadi bukti nyata bagaimana sistem dapat keliru ketika  menempatkan korban sebagai tersangka, sementara pelaku sesungguhnya justru lolos dari jerat hukum.

Bayangkan pada sebuah skenario, di mana seorang karyawan menerima gaji dari perusahaan berdasarkan slip gaji yang sah. Beberapa waktu kemudian, ia dipanggil dan dituduh melakukan pencurian karena ternyata perhitungan gajinya salah. Bukankah ini absurd? Namun, inilah yang terjadi pada 35 Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo periode 2019-2024 lalu.

Menelusuri akar permasalahan ini, sepertinya kesalahan sistematik pada kronologi sebenarnya, telah terjadi kesesatan prosedur. Kasus ini bermula dari temuan BPK-RI atas kelebihan pembayaran TKI karena penggunaan kategori Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) “sedang” padahal seharusnya “rendah”. Namun, respons yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo justru menciptakan ketidakadilan berlapis:

Mari kita melihat fakta kesalahan pertama pada penanganan perkara ini, yakni pada pelanggaran prosedur TGR, dimana Pemerintah Kabupaten Gorontalo, melalui Inspektorat, langsung memerintahkan penyetoran tanpa membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD) sebagaimana diatur dalam PP 38/2016 jo Permendagri 133/2018. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi pelanggaran fundamental terhadap due process of law.

Kesalahan keduanya adalah salah identifikasi pelaku, dimana yang lebih fatal bahwa proses penyelidikan dan saat ini pada tahapan penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo justru menargetkan Pimpinan dan Anggota DPRD. padahal pada kejadian sebenarnya, mereka hanya menerima hak keuangan berdasarkan APBD yang telah disahkan. Mereka dijadikan calon tersangka potensial, sementara pihak yang sebenarnya bertanggung jawab, tidak mendapat tekanan hukum yang proporsional.

SIAPA SEBENARNYA YANG BERSALAH?

Fakta hukum menunjukkan dengan gamblang bahwa Bupati Gorontalo saat itu adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Buktinya kristal jernih:

  1. Keputusan Gubernur No. 398/29/XII/2022 secara eksplisit menyatakan KKD Kabupaten Gorontalo adalah RENDAH, bukan sedang.
  2. Surat Bupati No. 900/BKAD/1692/2022 justru mempertahankan KKD SEDANG dalam Matrik Tanggapan yang ditandatangani sendiri oleh Bupati.
  3. Ini bukan kelalaian, tetapi kesadaran penuh (mens rea) untuk tidak mengikuti evaluasi Gubernur, ditambah perbuatan aktif (actus reus) menerbitkan dokumen yang menyimpang.

Dalam terminologi hukum pidana, ini adalah smoking gun—bukti langsung yang menunjuk pada pelaku. Namun, mengapa fokus justru tertuju pada DPRD yang hanya menerima apa yang telah ditetapkan dalam APBD..? Lalu bagaimana peran TAPD..??

Posisi Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) pada fakta kasus kelebihan bayar TKI DPRD Kabgor adalah pembantu yang luput dari radar. Mereka tidak bisa lepas tanggung jawab. Mereka tidak melakukan perhitungan KKD sebagaimana Pasal 4 ayat (2) Permendagri 62/2017, mereka memparaf Matrik Tanggapan yang menyimpang dari evaluasi Gubernur dan menggunakan Perbup yang sudah kadaluwarsa (No. 52/2017 jo 79/2018). Ini adalah complicitas. Dimana keterlibatan mereka aktif dalam menciptakan dokumen yang melanggar hukum.

Dimana keterlibatan aktif mereka…? TAPD pada faktanya memparaf Matrik Tanggapan yang mempertahankan KKD sedang, kemudian menyusun bersama Bupati dokumen yang menyimpang dari evaluasi Gubernur serta memberikan data KKD sedang kepada Sekwan/DPRD padahal evaluasi Gubernur menyatakan rendah. Hal ini tentu melanggar tugas dan fungsi, sebab mereka telah melanggar Pasal 4 ayat (1) Permendagri 62/2017 bahwa KKD harus dihitung setiap tahun berdasarkan realisasi 2 tahun sebelumnya dan tidak membentuk Perbup tentang besaran TKI sebagaimana Pasal 9 Permendagri 62/2017.

Pertanyaannya, Apakah Kejaksaan sudah memeriksa mantan Bupati Gorontalo dan Sekertaris Daerah saat itu…??? berikut, apakah Kejaksaan telah memeriksa saksi-saksi kunci yakni Gubernur dan tim evaluasi Pemprov Gorontalo…??

PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN GORONTALO

Selanjutnya kita melihat posisi  Pimpinan & Anggota DPRD Kabupaten Gorontalo, yang sepertinya dikriminalisasi pada kasus ini. Kalau kita menelisik posisi mereka pada kasus ini, fakta-fakta sudah sangat jelas tersaji dipublik. Pertama, Mens Rea bukan pada mereka sebab, Mereka tidak tahu dan tidak mungkin tahu bahwa Matrik Tanggapan yang ditandatangani Bupati menyimpang dari evaluasi Gubernur. Kedua, Rapat penyempurnaan hasil evaluasi hanya membahas hal-hal umum. Matrik sudah disiapkan lengkap oleh eksekutif. Sehingga, tidak ada perbuatan aktif DPRD atau unsur Aktus Reus pada awal musibah ini. Ketiga, posisi mereka bisa dikatakan sebagai penerima hak yang sah. Sebab, mereka hanya menerima transfer dari Bendahara Sekwan berdasarkan APBD yang telah disahkan melalui proses legislasi yang benar. dan Fakta keempat adalah keterbatasan akses, dimana Keputusan Gubernur ditujukan kepada Bupati, DPRD hanya mendapat tembusan. Mereka tidak terlibat dalam penyusunan Matrik Tanggapan.

Dengan fakta ini, jika Kejaksaan menempatkan DPRD sebagai tersangka, ini adalah criminalization of innocence atau mengkriminalisasi pihak yang tidak bersalah.

BAHAYA SALAH PENETAPAN TERSANGKA

Fakta yang disajikan Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo kepada publik hari ini adalah, upaya pengembalian kerugian daerah oleh seluruh pimpinan dan anggota DPRD Kabgor. Isu yang sudah berseliweran, Kejaksaan memaksa seluruh Aleg untuk mengembalikan sesuai dengan porsi kerugian yang variatif. Bahkan ditahap penyidikan ini, angin kencang menghembuskan bahwa jika tersangka yang akan ditetapkan nanti adalah para Aleg yang belum membayarkan kerugian atas kelebihan bayar tersebut.

Melihat hal diatas, maksud dari yang sudah dan belum membayar pada tafsiran fakta yang tersedia, memiliki konsekwensi hukum jika Kejaksaan Negeri Kabgor nekat menetapkan tersangka pada Pimpinan dan Anggota DPRD.

Indonesia punya sejarah kelam soal salah tangkap. Kasus pengamen yang salah ditangkap berujung pada ganti rugi Rp 36 juta per orang. Kasus Sengkon dan Karta yang dipenjara 5 tahun untuk kejahatan yang tidak mereka lakukan. Kasus Siyono yang meninggal akibat penyiksaan saat interogasi.

Setiap kasus salah tangkap adalah noda hitam dalam sejarah penegakan hukum kita. Kasus TKI DPRD Gorontalo berpotensi menjadi noda hitam berikutnya jika tidak segera dikoreksi. Jangan sampai sistem peradilan kita akan gagal karena selalu Sindrom “Target Empuk”. Dimana ada pola yang berulang dalam penegakan hukum di Indonesia: kecenderungan mengejar “target empuk” ketimbang menghadapi “target kuat”. Pimpinan dan Anggota DPRD adalah figur publik yang mudah dijangkau, mudah dipanggil, dan secara politis “aman” untuk diproses. Sebaliknya, memproses mantan Bupati, memerlukan keberanian politik yang luar biasa. Ada potensi intervensi, ada tekanan dari berbagai pihak, ada kompleksitas birokrasi. Maka, yang lemah yang dijadikan sasaran.

Ini adalah selective prosecution atau pemilihan tersangka berdasarkan kemudahan, bukan berdasarkan bukti dan keadilan. Sebab, kompleksitas hukum keuangan daerah memerlukan pemahaman yang mendalam. Tidak semua penyidik memahami mekanisme KUA-PPAS, proses evaluasi Gubernur, kewenangan TAPD, dan batasan kewenangan DPRD.

Publik dan media hari ini melek hukum, sehingga publik berharap agar penyidik jangan mudah “terjebak” pada kesimpulan sederhana: ada kerugian negara, ada yang menerima uang, maka yang menerima uang adalah pelaku. Padahal, hukum tidak sesederhana itu.

Kejaksaan masih punya waktu untuk mengoreksi arah pada tingkatan berikut di kasus ini. Fokus bukti utama dan saksi-saksi kunci serta pendapat para ahli hukum berkenaan dengan penanganan perkara kelebihan bayar TKI DPRD Kabgor ini. dalami Surat No. 900/BKAD/1692/2022 sebagai bukti utama dan buktikan mens rea dan actus reus. Untuk melengkapi bukti bahwa telah terjadi persengkokolan jahat dari awal, silahkan disandingkan Proposal PEN Pemda Kabgor ke PT. SMI sebagai bukti kuat lainnya dan untuk memintanya ada di Kabag Pembangunan Setda Pemda Kabgor atau di ketua program PEN pada saat itu.

PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

Fakta yang ada adalah, BPK-RI merekomendasikan pengembalian kerugian negara. Inspektorat tertekan untuk segera menyelesaikan. Kejaksaan tertekan untuk menindak. Dalam tekanan ini, yang penting adalah ada yang bertanggung jawab, siapa pun itu. Maka, DPRD yang sudah mulai menyetorkan uang (meski tanpa dasar hukum yang benar) dianggap sebagai “pengakuan bersalah”. Padahal, mereka menyetor karena ditekan, bukan karena bersalah.

Kasus ini bisa menjadi ujian dari cerminan krisis yang lebih besar, yakni krisis integritas dalam penegakan hukum. Ketika hukum tidak ditegakkan berdasarkan bukti dan keadilan, tetapi berdasarkan pertimbangan politik, kemudahan, atau tekanan, maka sistem peradilan kita sedang sakit. Apalagi hanya menekankan budaya “Asal Ada Tersangka” itu berbahaya dalam penegakan hukum kita: yang penting ada tersangka, siapa pun itu. Budaya ini lahir dari tekanan publik, tekanan media, dan tekanan atasan untuk menunjukkan kinerja. Akibatnya, keadilan dikorbankan demi statistik dan menjadi manifestasi dari ketidakadilan struktural yang mengakar dalam sistem hukum kita.

Untuk Pimpinan & Anggota DPRD Kabgor, bela diri dengan hukum dan jangan pasrah menjadi kambing hitam. Jika ada upaya maka ini langkah-langkah yang harus diambil. Yakni, hentikan penyetoran lebih lanjut tanpa dasar hukum yang jelas, ajukan keberatan formal atas proses penagihan yang melanggar PP 38/2016, siapkan pengacara untuk kemungkinan praperadilan, dokumentasikan kerugian (materiil dan immateriil) untuk tuntutan ganti rugi serta laporkan ke Komisi Kejaksaan jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang. Diam bukan berarti mengaku. Keadilan tidak datang dengan sendirinya, harus diperjuangkan.

Sementara untuk Pemerintah Kabupaten Gorontalo, akui kesalahan dan tanggung jawab. Mantan Bupati dan TAPD harus mengakui bahwa telah terjadi kesalahan prosedur, bentuk TPKD yang benar untuk proses TGR, kembalikan uang yang telah disetor oleh DPRD dan berikan kompensasi kepada DPRD atas kerugian yang dialami. Kepemimpinan sejati diukur dari keberanian mengakui kesalahan dan memperbaikinya.

MOMENTUM UNTUK PERUBAHAN

Kasus TKI DPRD Gorontalo adalah ujian bagi Kejaksaan RI. Apakah institusi ini mampu bersikap independen, profesional, dan berani menghadapi tekanan politik? Atau justru terjebak dalam pola lama: mengejar yang lemah, membiarkan yang kuat?

Keputusan yang diambil dalam kasus ini akan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa di seluruh Indonesia. Jika Kejaksaan berhasil mengoreksi arah dan menetapkan tersangka yang tepat, ini adalah kemenangan bagi keadilan. Jika gagal, ini adalah kekalahan bagi sistem hukum Indonesia.

Seruan untuk Keadilan

Kepada semua pihak yang peduli pada keadilan: jangan biarkan ini terjadi. Jangan biarkan korban dijadikan tersangka. Jangan biarkan pelaku lolos dari tanggung jawab. Jangan biarkan hukum dipermainkan. Keadilan bukan hanya tanggung jawab penegak hukum, tetapi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara. Suara kita bisa menjadi tekanan moral bagi sistem untuk berubah.

Harapan di Tengah Kegelapan

Meski situasi terlihat suram, masih ada harapan. Masih ada jaksa-jaksa berintegritas. Masih ada hakim-hakim yang berani. Masih ada aktivis dan akademisi yang peduli. Masih ada media yang independen. Yang dibutuhkan adalah keberanian kolektif untuk mengatakan: cukup sudah dengan ketidakadilan. Saatnya hukum ditegakkan dengan sebenar-benarnya, bukan setengah-tengah.

Kasus kelebihan pembayaran TKI DPRD Kabupaten Gorontalo adalah salah sasaran yang nyata. Bupati Gorontalo dan TAPD yang seharusnya bertanggung jawab, justru Pimpinan dan Anggota DPRD yang dijadikan target. Ini bukan hanya kesalahan prosedur, tetapi kesalahan fundamental dalam memahami keadilan. Keadilan bukan soal siapa yang mudah dijangkau, tetapi siapa yang benar-benar bersalah.

Keadilan mungkin lambat, tetapi pasti datang jika diperjuangkan. Publik pasti mengawasi proses ini, karena keadilan adalah hak kita semua. “Keadilan yang terlambat adalah keadilan yang ditolak. Tetapi keadilan yang salah sasaran adalah ketidakadilan yang sempurna.”

Tajuk ini ditulis bukan untuk membela siapa pun, tetapi untuk membela keadilan itu sendiri. Dalam hukum, yang benar harus dibenarkan, yang salah harus disalahkan. Tidak boleh ada kompromi atas prinsip ini.

Semoga tajuk ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap kasus hukum, yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi para pihak, tetapi martabat sistem hukum itu sendiri. Fiat justitia ruat caelum — Biarlah keadilan ditegakkan meskipun langit runtuh. [***]

Example 120x600
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *