Oleh: Makmun Rasyid
(Penulis Trilogi Kontra Khilafahisme dan Trilogi Kontra Terorisme)
DEBUTOTA, Opini – Pencalonan salah satu tokoh eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam bursa Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo menghidupkan kembali perdebatan penting tentang loyalitas ideologis dalam birokrasi publik. Isu ini bukan sekadar tentang satu individu, melainkan menyangkut prinsip dasar kebangsaan: apakah sistem demokrasi Indonesia cukup waspada terhadap infiltrasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi?
Kritik terhadap HTI bukan hal baru, namun selalu saja ada upaya membungkamnya dengan tudingan islamofobia. Seolah-olah, siapa pun yang mengkritik HTI otomatis sedang memusuhi Islam. Ini adalah sesat pikir yang perlu dihentikan. HTI bukan representasi umat Islam. HTI adalah gerakan politik ideologis yang menggunakan simbol Islam untuk tujuan politik kekuasaan. Bahkan lebih dari itu: HTI adalah proyek global yang ingin mengganti sistem negara-bangsa dengan negara khilafah transnasional.
Sejak awal, HTI bukanlah organisasi dakwah. Di Indonesia, mereka memang sering mengklaim demikian untuk menghindari pembubaran. Namun secara historis, sejak didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani di Yerusalem tahun 1953, Hizbut Tahrir (HT) sudah menyebut dirinya partai—bukan ormas, bukan gerakan sosial, apalagi lembaga dakwah. “Hizb” berarti partai; “tahrir” berarti pembebasan. Tujuan akhirnya adalah pendirian Daulah Khilafah Islamiyyah yang bersifat global.
Strategi politik HTI pun mencerminkan niat ideologis ini. Mereka menolak sistem demokrasi, tidak ikut dalam pemilu atau parlemen, dan menganggap konstitusi sebagai buatan manusia yang harus ditolak. Ini membedakan mereka dari organisasi seperti Ikhwanul Muslimin (IM), yang memanfaatkan jalur politik formal untuk mengubah sistem dari dalam. Namun cita-cita HT dan IM sesungguhnya mirip: menjadikan negara tunduk pada satu versi tunggal Islam yang mereka tafsirkan sendiri.
Lebih ekstrem lagi, HT bahkan memiliki kesinambungan ideologis dengan ISIS. Mereka sama-sama anti-negara bangsa dan anti-demokrasi. Bahrun Naim—otak serangan bom Sarinah pada 2016—adalah alumni HTI sebelum menjadi Panglima ISIS di Asia Tenggara. Artinya, HTI memang bukan organisasi teror, tetapi ideologinya menjadi fondasi awal bagi radikalisasi dan kekerasan.
Sejarah dunia Islam mencatat bahwa HT telah dilarang di banyak negara Muslim karena dianggap membahayakan stabilitas nasional. Pemerintah Yordania melarang HT sejak 1953 karena dianggap mengancam kedaulatan negara. Di Suriah, HT dibubarkan secara ekstra-yudisial antara 1998–1999. Mesir mencurigai keterlibatan HT dalam kudeta 1974 dan pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981. Arab Saudi, Pakistan, Bangladesh, Kazakhstan, Tajikistan, Uzbekistan, Malaysia, bahkan Libya di masa Khadafi, semuanya memandang HT sebagai organisasi ekstrem, subversif, dan anti-negara. Di Turki, HT masuk lewat kampus pada 1967, namun ditekan militer. Puluhan kader ditahan, termasuk Ahmad Kilikaya dan Remzi Ozer. Hingga tahun 2003, Turki masih memenjarakan puluhan kader HT.
Fakta bahwa negara-negara mayoritas Muslim pun melarang HT membantah narasi bahwa HT adalah bagian dari Islam arus utama. Larangan terhadap HT bukan bentuk represi agama, tetapi perlindungan terhadap stabilitas negara dan konsensus kebangsaan. Indonesia tidak sendirian. Maka, pelarangan HTI oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2017 harus dilihat dalam kerangka ini.
Sayangnya, tidak sedikit pihak yang secara tendensius menuduh pelarangan HTI sebagai bukti bahwa Presiden Jokowi anti-Islam. Ini adalah framing yang keliru dan berbahaya. Justru sebaliknya, selama hampir satu dekade kepemimpinannya, Jokowi dikenal dekat dengan mayoritas umat Islam Indonesia. Ia sering menghadiri forum-forum keagamaan, memperkuat hubungan dengan ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, mendukung pengembangan pesantren, dan bahkan menggandeng ulama sebagai bagian dari kepemimpinan nasional—terlihat jelas saat ia memilih KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden.
Namun, kedekatan dengan umat tidak menjadikannya lemah terhadap ancaman ideologis. Jokowi tetap tegas jika ada kelompok yang ingin mengubah haluan negara. Dalam konteks HTI, langkah hukum diambil dengan dasar yang kuat: pembubaran HTI bukan karena ajaran agamanya, tetapi karena visinya yang hendak menghapus sistem negara-bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Mungkingkan Prabowo mengikuti jejak Jokowi ini?
Dalam hal ini, negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi dirinya. Seperti halnya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang komunisme dan marxisme, langkah membubarkan HTI adalah bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga keutuhan ideologis. Demokrasi bukanlah rumah terbuka untuk semua paham, termasuk yang berniat menghancurkan demokrasi itu sendiri dari dalam.
Apalagi, HTI tak sekadar sejarah. Residunya masih hidup. Di Gorontalo, aktivitas HTI terindikasi telah menyusup ke berbagai institusi, termasuk birokrasi dan pendidikan. Ketika tokoh eks HTI kini mencalonkan diri dalam jabatan strategis seperti Sekda, yang dipertaruhkan bukan hanya kapasitas administratif, tapi kesetiaan ideologis.
Birokrasi adalah alat negara untuk menegakkan konstitusi, bukan tempat kompromi terhadap ideologi alternatif. Demokrasi harus waspada, bukan permisif. Toleransi tidak berarti menyerahkan institusi negara kepada siapa pun, termasuk mereka yang secara ideologis ingin menghancurkannya.
Lebih dari itu, jika kita menilik ajaran Islam sendiri, tidak ada perintah dalam Al-Qur’an atau hadis yang mewajibkan pendirian Negara Islam atau Khilafah sebagai satu-satunya sistem yang sah. Rasulullah SAW hanya mewariskan dua pusaka: Al-Qur’an dan Sunnah. Seandainya sistem negara itu wajib, tentu akan disebutkan secara eksplisit dan diulang-ulang oleh Nabi. Namun, kenyataannya, empat khalifah pasca Nabi—Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali—tidak pernah menamakan sistem pemerintahan mereka sebagai “Negara Islam.” Mereka fokus pada substansi: keadilan, amanah, dan kemaslahatan.
Islam adalah agama nilai, bukan formalisme negara. Ia tidak butuh simbol politik untuk hidup. Bahkan di Indonesia, nilai-nilai Islam sudah terinternalisasi dalam hukum dan budaya, tanpa perlu label “syariah” di setiap kebijakan. Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, misalnya, sejalan dengan prinsip kejujuran dalam Islam. Tanpa dilabeli hukum Islam pun, substansinya tetap Islami.
Justru HTI lah yang ingin mengkerdilkan Islam ke dalam satu bentuk politik formal. Mereka menafikan keragaman ekspresi Islam dan memaksakan satu tafsir tunggal. Ini bukan dakwah. Ini proyek ideologis dengan ambisi global. Dan seperti yang ditunjukkan oleh sejarah, proyek ini kerap berakhir dengan kekerasan, kudeta, dan ketidakstabilan.
Maka, mari kita tegaskan sekali lagi: mengkritik HTI bukanlah bentuk islamofobia. Ini adalah bagian dari pembelaan terhadap Islam yang ramah, rasional, dan rahmatan lil ‘alamin. Ini juga bagian dari pembelaan terhadap negara yang dibangun atas dasar konsensus, bukan paksaan ideologis. Presiden Jokowi bukan anti-Islam. Justru karena cintanya terhadap umat, ia tegas terhadap siapa pun yang ingin mengganti dasar negara.
Kita tidak boleh tertipu oleh narasi kebebasan yang dijadikan tameng oleh mereka yang ingin mengganti sistem. Demokrasi bukan bunuh diri ideologis. Birokrasi bukan rumah netral. Islam tidak perlu simbol negara untuk hidup. Dan negara tidak boleh kompromi terhadap siapa pun yang mengancam fondasi konstitusionalnya. [**]