Scroll untuk baca artikel
banner 350x300
Example floating
Example floating
Tajuk & Opini

Reset Rupiah, Prabowo & Purbaya Berani Pangkas 3 Nol

809
×

Reset Rupiah, Prabowo & Purbaya Berani Pangkas 3 Nol

Sebarkan artikel ini
Foto Istimewa
Example 468x60

Redenominasi Rupiah, Reset Ekonomi Atau Jebakan Psikologis…!!!

BUTOTA – TAJUK | Pemerintahan Prabowo Subianto kembali menghidupkan wacana yang tertidur 13 tahun: redenominasi rupiah. Kali ini bukan lagi sekadar mimpi di meja birokrat. PMK Nomor 70 Tahun 2025 telah resmi menetapkan target RUU Redenominasi rampung pada 2027. Target tegas. Tenggat jelas.

Pertanyaannya: Apakah ini langkah berani menuju kedaulatan ekonomi, ataukah taruhan besar yang bisa berujung bencana?

Operasi Pemangkasan, Rp100.000 Menjadi Rp100

Konsepnya sederhana namun radikal. Redenominasi akan memangkas tiga angka nol di belakang nominal rupiah kita. Rp1.000 menjadi Rp1. Rp10.000 menjadi Rp10. Rp100.000 menjadi Rp100.

Daya beli tetap sama. Sebungkus rokok Rp25.000 akan menjadi Rp25, namun Anda tetap mendapat satu bungkus rokok yang sama. Inilah yang disebut penyederhanaan mata uang tanpa mengurangi nilai riil.

Tapi jangan keliru. Ini bukan sanering seperti tragedi 1959 yang menghancurkan 99% kekayaan rakyat dalam semalam. Ini bukan pemotongan nilai. Ini adalah rebranding mata uang nasional.

Selama satu dekade lebih, redenominasi hanyalah wacana yang mengambang. Dari era SBY hingga Jokowi, rencana ini tertunda tanpa kejelasan. Lalu mengapa tiba-tiba mendesak di era Prabowo? Jawabannya terletak pada agenda reset ekonomi yang lebih besar.

Prabowo dan Menteri Keuangan Purbaya Yudi Sadewa memahami satu hal bahwa untuk menghancurkan oligarki dan membangun ekonomi dari bawah ke atas, Indonesia membutuhkan mata uang yang berwibawa.

Di mata investor global, mata uang dengan terlalu banyak nol diasosiasikan dengan ketidakstabilan, inflasi liar, dan trauma ekonomi masa lalu. Rupiah kita masih membawa bekas luka 1998. Setiap kali investor asing melihat angka Rp15.000 per dolar, yang terbayang adalah krisis moneter, kerusuhan, dan ketidakpastian.

Redenominasi adalah upaya membersihkan trauma psikologis itu. Ini adalah pernyataan tegas bahwa Indonesia bukan lagi negara krisis. Rupiah bukan lagi mata uang yang lemah.

Perang Melawan Mafia, Ketika Angka Menjadi Senjata

Ada alasan tersembunyi yang lebih dalam. Dalam logika Prabowo, redenominasi adalah alat anti-korupsi.

Bagaimana caranya? Ketika nominal transaksi menjadi ringkas, potensi manipulasi data keuangan, mark-up proyek triliunan, dan penggelapan anggaran menjadi lebih mudah ditelisik.

Proyek Rp10 triliun yang diklaim untuk infrastruktur namun hanya menelan Rp3 triliun akan lebih mencolok dalam format Rp10 miliar vs Rp3 miliar. Angka yang sederhana lebih sulit disembunyikan di balik kerumitan nol yang panjang.

Purbaya, dengan reputasi ketegasannya, melihat redenominasi sebagai senjata digital untuk meminimalisir peluang korupsi sistemik.

Dampak Bagi Rakyat, Lebih dari Sekadar Hilangnya Nol

Bagi masyarakat biasa, manfaat redenominasi bersifat psikologis dan praktis. Pertama, transaksi lebih efisien. Anak sekolah tak perlu lagi pusing menghitung nol panjang. Ibu-ibu di pasar tradisional bisa bertransaksi lebih cepat dan akurat. Kedua, optimisme kolektif. Nilai rupiah yang terasa “lebih kuat” secara visual akan menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat terhadap mata uang sendiri. Ini adalah investasi psikologis yang vital.

Ketiga adalah citra Internasional. Rupiah yang ringkas terlihat lebih modern dan stabil di mata trader global. Persepsi ini dapat mendorong masuknya modal asing (capital inflow), yang pada gilirannya memperkuat nilai tukar secara bertahap.

Pertanyaan terpenting, Apakah redenominasi akan memperkuat rupiah terhadap dolar? Jawabannya kompleks. Sebab, secara matematis jawabannya adalah TIDAK. Jika hari ini 1 USD = Rp15.000, setelah redenominasi akan menjadi 1 USD = Rp15. Nilai tukar riil tetap sama. Hanya formatnya yang berubah.

Namun secara psikologis dan geoekonomi, dan inilah yang sering diabaikan para skeptis. Nilai tukar mata uang tidak hanya ditentukan oleh fundamental ekonomi, tapi juga oleh kepercayaan pasar.

Ketika rupiah terlihat lebih ringkas (Rp15 per dolar), persepsi tentang kesehatan ekonomi Indonesia meningkat. Investor melihat risiko lebih rendah. Kepercayaan tumbuh. Modal asing masuk. Permintaan rupiah naik. Dan secara alamiah, nilai tukar bisa menguat. Ini bukan sihir. Ini adalah ekonomi perilaku (behavioral economics) dalam skala makro.

Resiko yang mengintai jika gagal

Namun mari kita jujur, redenominasi adalah pisau bermata dua.  Jika sosialisasi gagal, masyarakat bisa panik dan salah mengira ini adalah sanering. Kepercayaan akan runtuh. Bank run bisa terjadi. Kemudian ada inflansi tersembunyi yang membuat pedagang bisa memanfaatkan momen ini untuk menaikkan harga dengan dalih “penyesuaian”. Jika tidak dikontrol ketat, inflasi akan melonjak.

Jika proyek ini gagal, kredibilitas politik Prabowo akan menanggung beban politik yang berat. Tuduhan “eksperimen berbahaya” akan melumpuhkan kredibilitasnya.

Sejarah mencatat banyak negara gagal menjalankan redenominasi justru karena faktor non-teknis: kurangnya kepercayaan publik dan lemahnya kontrol pemerintah.

Yang menarik, di tengah euforia atas PMK 70/2025, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto justru menyatakan “belum ada rencana” redenominasi saat ditanya wartawan pada 7 November 2025.

Kontradiksi ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini strategi komunikasi yang buruk? Ataukah memang masih ada ketidaksepakatan internal di kabinet?

Yang pasti, meskipun tercantum dalam dokumen Renstra Kemenkeu, implementasi redenominasi masih memerlukan koordinasi lintas kementerian dan persetujuan DPR. Ini bukan proyek yang bisa dijalankan sepihak oleh satu kementerian.

Pelajaran dari sejarah dan Gelombang Redenominasi Global, Indonesia sebenarnya pernah melakukan hal serupa pada 13 Desember 1965. Di tengah inflasi gila-gilaan, pemerintah menerbitkan pecahan uang baru: Rp1 yang setara dengan Rp1.000 lama.

Bedanya, saat itu dilakukan dalam kondisi krisis ekonomi parah. Redenominasi gagal menyelamatkan ekonomi karena tidak dibarengi reformasi struktural.

Sementara itu, beberapa negara berhasil melakukan redenominasi dengan baik:

– Turki (2005): Memangkas 6 angka nol. Berhasil karena dibarengi reformasi fiskal ketat.

– Brasil (1994): Mengganti mata uang sekaligus stabilisasi ekonomi. Inflasi terkendali.

– Zimbabwe (2009): Gagal total karena hiperinflasi dan ketidakpercayaan publik.

Pelajarannya jelas bahwa Redenominasi hanya berhasil jika ekonomi fundamental sudah stabil dan pemerintah punya kredibilitas tinggi.

Redenominasi bukanlah proyek akuntansi sederhana. Ini adalah pernyataan kedaulatan ekonomi. Langkah berani yang menunjukkan Indonesia tidak lagi ingin dihormati hanya karena militer atau sumber daya alam, tapi juga karena kekuatan dan kredibilitas mata uangnya.

Jika berhasil, Prabowo akan meninggalkan legasi ekonomi terbesar setelah Soeharto yaitu Rupiah yang kuat dan menjadi berwibawa. Namun jika gagal, ini akan menjadi blunder politik terbesar yang akan menghantui legitimasi pemerintahannya.

Yang jelas, kita semua rakyat Indonesia adalah saksi dan sekaligus taruhan dalam eksperimen ambisius ini. Pertanyaannya bukan lagi “apakah redenominasi perlu?” tapi “apakah Indonesia siap?”. Karena dalam ekonomi, sama seperti dalam perang, niat baik saja tidak cukup. Eksekusi adalah segalanya.

Target 2027 sudah ditetapkan. Waktu berjalan. Dan rupiah menanti nasibnya. [**]

Example 120x600
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *