DEBUTOTA – OPINI | Jajaran penegak hukum di daerah baik kejaksaan maupun kepolisian, nampaknya kompak untuk mengusut tuntas penyalahgunaan uang rakyat yang digunakan untuk perjalanan dinas mark up dan fiktif baik serta dugaan korupsi lainnya, yang dilakukan oleh para Anggota DPRD maupun para pejabat di daerah.
Di beberapa daerah, penegak hukum serentak bergerak mengusut korupsi perjalanan dinas. Di Provinsi Gorontalo, Kota Gorontalo sementara diusut oleh Kejaksaan Tinggi dan di Boalemo diusut oleh Kejaksaan Boalemo. Momentum ini menunjukkan keseriusan aparat dalam memberantas praktik korupsi yang sudah mengakar di berbagai lembaga pemerintahan daerah.
Anatomi Lima Modus Operandi Korupsi Perjalanan Dinas
Beragam modus operandi dilakukan untuk menyalahgunakan keuangan negara. Secara umum, modus operandi korupsi perjalanan dinas bervariasi dari yang sederhana hingga terorganisir dengan rapi. Lima pola utama yang teridentifikasi meliputi:
Pertama, perjalanan fiktif dengan modus tidak dilakukan dan hanya mengirimkan kurir jika perjalanan dinas dilakukan dengan mobil. Praktik ini memungkinkan anggaran perjalanan dinas tetap dicairkan meski kegiatan tidak pernah dilaksanakan.
Kedua, mark up biaya hotel atau penginapan hasil kerjasama dengan pihak hotel dan tiket pesawat dengan modus disulap dengan cetak sendiri. Kolaborasi antara oknum pejabat dengan pihak hotel menciptakan ekosistem korupsi yang saling menguntungkan.
Ketiga, pungutan liar dari peserta yang ikut dalam perjalanan dinas. Para peserta dipaksa menyetor sejumlah uang sebagai “kontribusi” meski seharusnya seluruh biaya ditanggung APBD.
Keempat, mengurangi waktu pelaksanaan perjalanan dinas. Dalam pertanggungjawaban, kegiatan perjalanan dinas dilakukan selama 5 hari tetapi dilakukan hanya 2 hari. Modus ini dilakukan jika perjalanan dilakukan dengan mobil, sehingga selisih hari dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Kelima, habis anggaran tapi perjalanan dinas tetap dilakukan dengan cara menagihnya pada perubahan APBD padahal ada larangan melakukan kegiatan yang belum tersedia anggarannya. Praktik ini menunjukkan lemahnya pengawasan internal dalam pengelolaan keuangan daerah.
Praktik Sistematis di DPRD Kabupaten Gorontalo, Saat Pandemi Covid-19
Di DPRD Kabupaten Gorontalo, dari informasi yang diperoleh dari berbagai sumber terpercaya, penyalahgunaan perjalanan dinas tak jauh berbeda dari modus operandi yang berlaku secara umum di daerah-daerah lainnya. Yang mengkhawatirkan, penyalahgunaan perjalanan dinas dengan 5 modus tersebut dilakukan secara masif pada saat COVID-19 melanda sejak 2019-2023, periode ketika seharusnya mobilitas dibatasi untuk kesehatan publik.
Untuk perjalanan dinas ke daerah-daerah di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, terutama daerah-daerah perbatasan seperti Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Buol, dan Parigi Moutong menjadi tujuan favorit perjalanan dinas. Pemilihan lokasi ini diduga karena jarak yang relatif jauh sehingga memungkinkan klaim biaya transportasi dan akomodasi yang lebih besar.
Modus yang paling mengejutkan adalah penggunaan sistem kurir untuk penandatanganan SPPD. SPPD anggota DPRD hingga 20-40 lembar dibawa oleh kurir untuk ditandatangani di daerah tujuan tanpa foto, karena Kabupaten Gorontalo hingga beberapa tahun menghapus syarat foto dalam SPPD. Bahkan jika disyaratkan foto, hal tersebut dapat direkayasa melalui aplikasi teknologi digital.
Praktik ini menunjukkan betapa sistematis dan terorganisirnya modus korupsi perjalanan dinas. Para pelaku tidak segan memanfaatkan celah regulasi dan kemajuan teknologi untuk melanggengkan praktik koruptif.
Modus berikutnya adalah merekayasa biaya akomodasi yang berkolaborasi dengan pihak ketiga. Biasanya, mereka melakukan mark up biaya hotel atau penginapan hasil kerjasama dengan pihak hotel atau dibuat sendiri, dan tiket pesawat dengan modus disulap dengan cetak sendiri oleh para ahlinya. Modus hotel dilakukan dengan memark up harga kamar dari standard room menjadi suite room hingga batas tertinggi standar harga yang diperbolehkan dalam regulasi.
Yang lebih mengkhawatirkan, bill hotel bahkan direkayasa dan dicetak sendiri menggunakan “para ahlinya” – istilah yang menunjukkan adanya jaringan spesialis dalam memalsukan dokumen keuangan. Hal ini mengindikasikan bahwa praktik korupsi perjalanan dinas sudah menjadi industri tersendiri dengan pembagian peran yang jelas.
Selanjutnya adalah memanipulasi durasi perjalanan dengan modus mengurangi waktu pelaksanaan perjalanan dinas, marak dilakukan. Dalam pertanggungjawaban kegiatan, perjalanan dinas dilakukan selama 5 hari tetapi aktualnya hanya dilakukan 2 hari. Sebagai contoh, kegiatan atau studi banding yang dilaksanakan di Manado atau daerah sekitarnya yang seharusnya 5 hari hanya dibuat 2 hari dengan penandatanganan SPPD dibuat sehari saja dengan teknik “ganti-ganti baju” untuk memberikan kesan kegiatan dilakukan dalam hari yang berbeda.
Apalagi, di DPRD Kabupaten Gorontalo, sudah menjadi rahasia umum bahwa penyalahgunaan perjalanan dinas dilakukan dengan modus pungutan liar dari peserta. Para tenaga kontrak atau staf ASN diberangkatkan baik darat maupun udara, tetapi tenaga kontrak hanya dibayar 500 ribu rupiah saja dengan alasan “yang penting sudah bisa jalan-jalan ke Jakarta, Makassar, Surabaya, atau Manado.”
Praktik ini menunjukkan eksploitasi terhadap tenaga kontrak yang posisi tawarnya lemah. Mereka dipaksa “bersyukur” dengan kompensasi yang tidak sesuai dengan hak yang seharusnya diterima, sementara oknum pejabat meraup keuntungan besar dari selisih anggaran.
Persistensi Praktik Koruptif
Hingga kini, 5 modus penyalahgunaan perjalanan dinas masih terus dilakukan oleh para pejabat/ASN di daerah-daerah dan DPRD. Hal ini menunjukkan bahwa praktik korupsi perjalanan dinas sudah menjadi budaya yang mengakar kuat dalam birokrasi daerah.
Publik menunggu aksi pemberantasan dan pengusutan penyalahgunaan perjalanan dinas di DPRD Kabupaten Gorontalo, apakah oleh kejaksaan atau kepolisian. Momentum pengusutan di berbagai daerah seharusnya menjadi peringatan bagi para pelaku bahwa era impunitas sudah berakhir.
Secara spesifik, aspek krusial yang harus disoroti adalah sistematisasi korupsi yang sangat mengkhawatirkan dari dugaan korupsi perjalanan dinas di DPRD Kabupaten Gorontalo. Dimana, mereka mengevolusi dari praktik yang sporadis menjadi sistem industri yang teroganisir rapi. Penggunaan kurir untuk membawa 20-40 SPPD sekaligus, kerja sama dengan pihak hotel, hingga adanya “para ahli” pembuat bill palsu menunjukkan bahwa korupsi perjalanan dinas sudah menjadi industri dengan rantai nilai yang kompleks.
Ini bukan lagi sekadar oknum yang memanfaatkan celah sistem, melainkan transformasi sistemik di mana korupsi menjadi bagian integral dari operasional lembaga. Implikasinya, pemberantasan tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan individual, tetapi harus membongkar seluruh ekosistem koruptif yang sudah mengakar.
Yang kedua adalah paradoks teknologi, dengan memanfaatkan celah dalam system control yang menjadi instrumen korupsi. Ironi terbesar adalah pemanfaatan kemajuan teknologi untuk memperlancar praktik koruptif. Aplikasi edit foto untuk merekayasa kehadiran, sistem cetak mandiri untuk bill palsu, hingga penghapusan syarat foto dalam SPPD yang justru membuka celah korupsi menunjukkan bagaimana teknologi yang seharusnya meningkatkan transparansi malah dimanfaatkan untuk kejahatan.
Aspek terakhir adalah perilaku mengeksploitasi struktural, dengan memanfaatkan tenaga kontrak pada korupsi finansial. Poin ini paling melukai rasa keadilan adalah eksploitasi terhadap tenaga kontrak, yang hanya dibayar Rp 500.000 dari anggaran perjalanan dinas yang seharusnya menjadi hak mereka. Praktik ini bukan sekadar korupsi finansial, tetapi juga kekerasan struktural yang memanfaatkan posisi subordinat tenaga kontrak.
Para oknum pejabat tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga merampas hak-hak dasar pekerja yang secara legal sudah diatur dalam regulasi kepegawaian. Ini menunjukkan betapa korupsi tidak hanya merusak keuangan negara, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam birokrasi.
Ketiga aspek ini harus menjadi fokus utama dalam pengusutan dan reformasi sistem perjalanan dinas di daerah. Tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap dimensi-dimensi ini, upaya pemberantasan korupsi hanya akan menyentuh permukaan tanpa menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya.
Lagi, Aparat Penegak Hukum baik Kepolisian maupun Kejaksaan, diminta untuk menseriusi penanganan perkara korupsi di Kabupaten Gorontalo secara khusus. Apalagi, kedua instrumen penegakan hukum itu, sering menggunakan panji pemberantasan korupsi sebgaai program utama. Hal ini tentu akan ditantang banyak orang, apakah berani menuntaskannya atau malah memanfaatkan hubungan kedekatan baik secara person maupun politik, untuk menguntungkan pribadi maupun institusinya.
Berapa sebenarnya kerugian negara akibat dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif di DPRD Kabupaten Gorontalo, pada periode 2019 hingga 2023 silam…??? Benarkah, Para Aleg yang terhormat tidak penyadari adanya dugaan korupsi perdis fiktif diperiode tersebut…?? [Bersambung]
Oleh : Jeffry Rumampuk




















