Scroll untuk baca artikel
banner 350x300
Example floating
Example floating
Tajuk & Opini

Paradoks Koalisi ST12, Kapal Retak Yang Tak Bernahkoda

997
×

Paradoks Koalisi ST12, Kapal Retak Yang Tak Bernahkoda

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

BUTOTA – TAJUK | Dinamika politik di Kabupaten Gorontalo kembali menampilkan wajah carut-marut sistem koalisi yang rapuh. Rekomendasi penonaktifan Sekretaris Daerah Sugondo Makmur yang ditandatangani sejumlah anggota DPRD dari partai koalisi, terutama PDI Perjuangan dan PKB, minus NasDem, telah memicu gelombang kontroversi yang menguak keretakan internal partai pengusung pemerintahan.

Yang menarik, respons partai justru datang dalam bentuk “teguran keras” terhadap kader sendiri, ini malah diprakarsai Parpol diluar koalisi yakni DPC Partai Demokrat Kabupaten Gorontalo. Dengan mengundang tiga anggotanya, Partai berlambang mercy ini membahas komitmen partai dan menegaskan dukungan terhadap upaya restorasi pemerintahan yang digagas Bupati Gorontalo Sofyan Puhi. Yang berikutnya,  PKB Kabupaten Gorontalo tidak mau ketinggalan momen, yang juga memberikan teguran keras kepada Rahmat Maku atas keputusan menandatangani rekomendasi tanpa berkomunikasi dengan DPC PKB.

Pertanyaan Mendasar, untuk siapa koalisi bekerja? Karena sandiwara ini menampilkan paradoks koalisi yang menggelisahkan. Di satu sisi, anggota legislatif dari partai koalisi berupaya menjalankan fungsi pengawasan dengan mengusulkan penonaktifan Sekda, terkait keterlambatan pembahasan KUA-PPAS. Di sisi lain, PKB justru “mematahkan” langkah kadernya sendiri dengan dalih “tidak berkoordinasi” dan menegaskan “dukungan penuh terhadap pemerintah daerah.”

Lantas, siapa yang sebenarnya mewakili suara rakyat? Anggota dewan yang dipilih langsung oleh konstituen, ataukah pengurus partai yang memegang kendali politik?

Keterlambatan KUA-PPAS merupakan isu substantif yang berdampak langsung pada pelayanan publik dan pembangunan daerah. Jika memang ada disfungsi di level eksekutif, seharusnya legislatif termasuk dari partai koalisi, memiliki ruang untuk melakukan kontrol. Namun, yang terjadi justru “pengkerdilan” fungsi pengawasan dengan dalih soliditas koalisi, begitupun sebaliknya.

Namun, jika sisa partai koalisi mengikuti langkah PKB yang menegur Alegnya, maka publik juga dihadirkan sebuah tontonan etika koalisi yang terdistorsi. Sebab dari perspektif etika koalisi, kasus ini menampilkan beberapa anomali serius. Karena seharusnya, keputusan menandatangani rekomendasi, dikordinasikan dulu.

Harus dipahami, koalisi bukan berarti kebal kritik. Karena koalisi yang sehat tetap memungkinkan kritik internal konstruktif terhadap kebijakan pemerintah. Jika semua langkah eksekutif harus didukung “full” tanpa evaluasi, maka fungsi checks and balances lumpuh total.

Teguran terhadap legislator yang kritis menciptakan preseden buruk bahwa loyalitas kepada partai, lebih penting daripada akuntabilitas kepada konstituen. Ini bertentangan dengan prinsip demokrasi perwakilan.

Framing ini problematis karena mengaburkan batas antara kepemimpinan politik dengan akuntabilitas publik. Sehingga transparansi sesama koalisi, dinilai minus dan bahkan terkesan tidak solid. Disatu sisi, secara politik fakta yang dihadirkan pada berapa hari terakhir bisa dikatakan fragmentasi terselubung. Hal ini dilihat dari fakta bahwa NasDem tidak ikut menandatangani rekomendasi, menunjukkan koalisi yang tidak solid . PDI Perjuangan dengan banteng-banteng mudanya, terlihat begitu antusias untuk menyeruduk Sekda pilihan pasangan Sofyan Tonny. Namun disatu sisi, alih-alih menyelesaikan perbedaan secara terbuka, partai-partai lain justru “memukul mundur” kadernya sendiri.

Kasus rekomendasi bernomor 176/2135/DPRD Kabupaten Gorontalo, menampilkan krisis koalisi dalam tiga lapis. Pertama, koalisi telah berubah menjadi “kartel politik” yang lebih mengutamakan bagi-bagi kekuasaan daripada kinerja pemerintahan. Ketika ada evaluasi kritis, respons yang muncul bukan perbaikan, melainkan represi internal.

Kedua, terjadi inversi hierarki demokratis bahwa suara rakyat melalui wakilnya di override oleh keputusan politik elite partai. Ini mencederai esensi demokrasi perwakilan.

Ketiga, manajemen konflik yang dipilih bukanlah resolusi substantif (menyelesaikan masalah KUA-PPAS), melainkan “pembungkaman struktural” dengan menggunakan mekanisme disiplin partai. Penilaian dari sudut pandang etika koalisi politik, penanganan kasus ini gagal memenuhi standar koalisi yang sehat. Koalisi seharusnya dibangun atas platform kerja bersama, bukan kesetiaan buta. Ketika anggota koalisi mengambil langkah kritis bahkan jika prosedurnya bermasalah, respons yang etis adalah membuka ruang dialog, bukan teguran keras yang bersifat intimidatif.

Yang lebih mengkhawatirkan, publik melihat partai-partai koalisi lebih sibuk mengamankan posisi politik daripada menyelesaikan masalah riil keterlambatan KUA-PPAS yang merugikan masyarakat. Disatu sisi, soliditas bukan berarti uniformitas absolut. Koalisi dewasa mampu menampung kritik internal, menyelesaikan perbedaan secara terbuka, dan tetap fokus pada kepentingan publik, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan.

Jika pola ini terus berlanjut, koalisi ST12 bukan “restorasi pemerintahan” seperti yang diklaim, melainkan “konsolidasi oligarki” yang menjauhkan politik dari rakyat. Sebab, demokrasi lokal membutuhkan koalisi yang bernyali mengkritisi diri sendiri, bukan yang gemar menghukum kader yang berani vokal.

Lalu bagaimana sikap dan kondisi koalisi ST12 saat ini…??

Kita dipertontonkan akan ketidakpuasan anggota koalisi terhadap sistem tata kelola pemerintahan yang katanya tidak pro koalisi. Padahal, koalisi yang terbaca retak bukan sekedar masalah internal namun sebuah ancaman sistemik terhadap stabilitas dan kualitas pemerintahan. Sebuah laboratorium nyata sementara digelar atas koalisi yang tidak solid, dan dapat menciptakan efek domino yang merugikan.

Koalisi ST12 sementara diterpa krisis legitimasi, karena partai-partai tidak sepaham dan bahkan sampai mengeluarkan rekomendasi penonaktifan Sekda. Hal ini tentu dapat dibaca bahwa ini adalah signal pemerintahan yang tidak memiliki visi bersama yang jelas. Pertanyaannya, jika partai koalisi tidak percaya terhadap pemerintahnya, kenapa rakyat harus percaya…???

Kondisi koalisi ST12 saat ini juga tergambarkan keretakan yang mengikis legitimasi, ketidaksolidan itu juga menampilkan kumpulan aktor yang sedang tarik ulur kepentingan. Alih-alih menyelesaikan substansi masalah, justru benturan sementara terjadi diantara politkus dan birokrasi. Sebab sinyal politik yang kontradiktif, dapat menciptakan kebingungan operasional yang serius.

Dilain sisi,nSugondo Makmur sebagai pimpinan birokrasi, hari ini menerima rekomendasi penonaktifan dari sebagian partai koalisi, sementara disaat yang bersamaan partai diluar koalisi justru mampu mengambil momentum dengan mendukung seluruh program pemerintahan. Pertanyaan mendasar, kepada siapa birokrasi harus loyal…???

Selanjutnya, kondis Partai NasDem sebagai pemimpin Koalisi serba problematis. Fakta bahwa dengan tidak menandatangani rekomendasi penonaktifan Sekda, menjadi kerdil akibat mengambil jalan yang tidak sama dengan anggota koalisi lainnya. Apakah NasDem tidak tahu dengan rekomendasi krusial itu..??? Apakah mereka tidak menjalankan mekanisme konsultasi koalisi…??? Yang jelas Nasdem hari ini menunjukan kegagalan kordinasi yang efektif, dalam menahkodai kapal yang berwana Biru, Merah dan Hijau itu. Bahkan yang lebih parah, ternyata koalisi bisa disebut hanya diatas kertas saja.

Jika NasDem tahu dengan rekomendasi tersebut dan memutuskan tidak terlibat, maka juga bisa disebut koalisi itu sudah terpecah secara substansi. Kesannya, Nasdem membiarkan ABK mengetes kedalam air sambil menunggu dan melihat reaksi politik yang muncul. Jika iya, maka inii justru strategi pragmatis yang tidak berintegritas atau biasa disebut lempar batu sembunyi tangan. Lebih buruk lagi, membiarkan anggota koalisi mengambil langkah kontrovesial tanpa klarifikasi posisinya, maka NasDem membuka ruang konflik yang kemungkinan terjadi.

Lalu dimana posisi Tonny Junus yang notabene menjadi representasi PDI Perjuangan ditubuh koalisi…???

Diantara ketiga partai koalisi, PDI Perjuangan melalui Anggotanya Noval Gani terlihat sangat merah saat menyerang Sugondo Makmur saat itu. Padahal, sudah jelas Tonny Junus adalah Wakil Bupati yang diusung oleh partai moncong putih itu. Sugondo jelas adalah pilihan pasangan Sofyan Tonny, apakah saat menyerang Sugondo, Noval bersuara mewakili partainya atau lembaga yang terhormat itu..???

Tonny Junus, saat ini adalah salah satu kandidat calon ketua DPD PDI Perjuangan Provinsi Gorontalo. Lalu kenapa Noval begitu ngotot menyerang Sugondo sementara Tonny itu Wakil Bupati pada Pemerintahannya..? Apakah ini masih berbicara tentang dendam seleksi terbuka atas jabatan Sekda dulu…??? Ataukah ini setingan dari dalam pemerintahan, karena unsur ketidakpuasan kinerja Sugondo…???? Biarkan publik menilai.

Perkara rekomendasi penonaktifan Sekda Sugondo Makmur, yang jelas menunjukkan bahwa koalisi ST12 itu rapuh. Ketidaksolidan bukan hanya sekedar masalah yang biasa dalam politik, ini adalah ancaman sistemik terhadap kinerja pemerintahan, kepercayaan publik dan integritas politik. Energi terbuang karena konflik internal, rakyat dipertontonkan pertengkaran elit politik dan polemik transaksional pra KUA-PPAS yang dipertontonkan secara gamblang dipublik.

NasDem sebagai pemimpin koalisi, juga dinilai tidak mampu mengelola perbedaan dan memfasilitasi komunikasi. Sebab jika NasDem mengambil posisi hening, maka koalisi ST12 tidak sedang menuju konsolidasi melainkan disintegritas yang tertunda. Pada prinsipnya, koalisi yang sehat bukan tentang koalisi yang tidak pernah berselisih, namun memiliki mekanisme penyelesaian perselisihan yang berfokus pada kepentingan rakyat. [***]

Example 120x600
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *