BUTOTA – TAJUK | Sikap tegas Sekretaris Daerah Kabupaten Gorontalo Sugondo Makmur, yang menolak membahas anggaran melalui telepon patut diapresiasi sebagai langkah preventif antikorupsi. Di tengah protes sejumlah anggota DPRD yang merasa diabaikan, Sugondo justru menunjukkan pemahaman mendalam tentang tupoksinya sebagai koordinator penyusunan anggaran yang harus menjaga akuntabilitas dan transparans.
Sebagai pemimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Sekda memiliki tanggung jawab strategis, yaitu mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah
Memastikan proses pembahasan anggaran berjalan transparan dan terukur
Menjaga integritas formulasi anggaran sesuai regulasi dan prinsip good governance. Berikut, memfasilitasi komunikasi resmi antara eksekutif dan legislatif dalam koridor prosedural
Bahaya Komunikasi Telepon Pra Pembahasan Anggaran
Penolakan Sugondo terhadap komunikasi telepon bukan sikap arogan, melainkan kehati-hatian profesional yang beralasan. Nilai pertamanya agar supaya tidak ada jejak audit pembicaraan telepon yang tidak meninggalkan dokumentasi resmi. Dalam era akuntabilitas publik, setiap tahapan pembahasan anggaran harus terdokumentasi sebagai bukti prosedural jika terjadi audit atau pemeriksaan.
Nilai keduanya adalah rentan salah tafsir tanpa notulensi atau saksi. Dimana, pembahasan anggaran via telepon mudah menimbulkan multi-interpretasi. Yang dimaksud “penyesuaian” bisa dipersepsikan berbeda oleh masing-masing pihak. Berikutnya, membuka ruang negosiasi tertutup. Dimana, komunikasi telepon menciptakan ruang gelap yang ideal untuk praktik tawar-menawar anggaran di luar mekanisme resmi. Inilah pintu masuk korupsi, yang menghasilkan kesepakatan tersembunyi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan publik.
Selanjutnya, hal tersubut melanggar prinsip transparansi. Kita ketahui, pembahasan anggaran adalah domain publik yang harus terbuka. Komunikasi telepon meniadakan prinsip keterbukaan, membuat publik tidak bisa mengawasi proses pengambilan keputusan.
Anggaran Istilah “seleweran-seleweran” yang digunakan Sugondo, menggambarkan bahaya nyata. formulasi anggaran yang dibicarakan secara informal cenderung berubah-ubah tanpa dasar rasional, mengikuti kepentingan sesaat tanpa pertimbangan perencanaan matang.
Upaya pencegahan berikut adalah konsekuensi sistemik, jika komunikasi telepon dinormalisasi dalam pembahasan anggaran. Hal ini tentu merusak sistem checks and balances antara eksekutif-legislatif, menggerus kepercayaan publik terhadap proses penganggaran san menciptakan preseden buruk untuk praktik korupsi di masa depan. Dampak berikutnya adalah memperlemah fungsi pengawasan karena tidak ada bukti tertulis serta membuka celah gratifikasi dan suap dalam bentuk “permintaan khusus”.
Jika melihat lebih dalam, upaya Sugondo adalah komunikasi yang Benar. Sebab dirinya, menegaskan keterbukaan untuk bertemu langsung di kantor atau tempat resmi lainnya. Ini adalah praktik yang seharusnya:l, artinya resminya haru komunikasi tatap muka dengan notulen, melibatkan tim, dan terdokumentasi. Bukan rapat rahasia, tetapi rapat terstruktur yang memastikan setiap keputusan bisa dipertanggungjawabkan.
Protes DPRD terhadap Sugondo yang tidak menjawab telepon, mengindikasikan kesalahpahaman tentang etika komunikasi dalam pengelolaan keuangan publik. Sugondo justru menjalankan tupoksinya dengan benar. Yakni, menjaga integritas proses anggaran dari praktik-praktik informal yang berpotensi koruptif.
Transparansi dimulai dari cara berkomunikasi. Jika pejabat publik mulai membahas anggaran triliunan rupiah melalui sambungan telepon pribadi, maka pintu korupsi sudah terbuka lebar. Sikap tegas Sugondo adalah benteng pertahanan terakhir sistem pemerintahan yang bersih.
Seharusnya DPRD Kabupaten Gorontalo melakukan Komunikasi yang baik, bukan diukur dari seberapa cepat telepon dijawab, tetapi seberapa transparan dan akuntabel prosesnya. Mari kita kembalikan pembahasan anggaran pada koridor yang benar, resmi, terdokumentasi, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Tajuk ini tidak mau menyalahkan pihak manapun, namun pada tulisan ini menekankan bahwa penolakan Sekda bukanlah arogansi, melainkan komitmen pada tata kelola pemerintahan yang baik dan pencegahan korupsi sejak dini. [***]




















