DEBUTOTA – TAJUK | Kasus kelebihan pembayaran Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) DPRD Kabupaten Gorontalo senilai hampir Rp 3 miliar untuk tahun anggaran 2022 dan 2023 telah menjadi sorotan publik. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini bukan sekadar masalah administratif semata, tetapi mengangkat pertanyaan fundamental tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab ketika terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Yang menarik dari kasus ini adalah bagaimana para pihak saling melempar tangg ung jawab. Anggota DPRD merasa dirugikan karena diminta mengembalikan uang yang mereka terima sebagai hak. Sementara pemerintah daerah menunjuk kepada keputusan yang telah disepakati bersama. Di tengah kebingungan ini, ada satu pertanyaan yang perlu dijawab dengan jernih: di mana sebenarnya letak kesalahan?
Akar Masalah: Ketika Regulasi Dilanggar Sejak Awal
Akar permasalahan sebenarnya sederhana. Permendagri Nomor 62 Tahun 2017 dengan tegas menyatakan bahwa perhitungan Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) harus dilakukan setiap tahun oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). KKD inilah yang menjadi dasar penetapan besaran TKI. Namun faktanya, untuk tahun 2022 dan 2023, TAPD tidak pernah mengeluarkan keputusan tentang KKD.
Lebih parah lagi, penentuan besaran TKI ternyata hanya mendasarkan pada Peraturan Bupati yang sudah tidak berlaku lagi, yakni Perbup Nomor 52 Tahun 2017 dan perubahannya Perbup Nomor 79 Tahun 2018. Padahal, kedua peraturan itu hanya berlaku untuk tahun anggaran 2017 dan 2018. Ini seperti menggunakan peta lama untuk menavigasi jalan baru yang sudah berubah.
Ketika Gubernur Gorontalo menerbitkan keputusan evaluasi yang menyatakan bahwa KKD Kabupaten Gorontalo untuk APBD 2023 seharusnya “rendah” bukan “sedang”, di sinilah titik krusial terjadi. Bupati Gorontalo bersama TAPD menyusun matriks tanggapan atas evaluasi gubernur, namun justru mempertahankan kategori KKD “sedang” alih-alih menyesuaikannya menjadi “rendah” seperti hasil evaluasi.
Tanggal 28 Desember 2022 menjadi titik balik dalam kasus ini. Pada hari itu, Bupati Gorontalo menandatangani Surat Nomor 900/BKAD/1692/2022 yang berisi matriks tanggapan klarifikasi evaluasi gubernur. Dalam matriks itu, KKD tetap ditetapkan dalam kategori “sedang” meskipun gubernur telah mengevaluasinya menjadi “rendah”.
Di sinilah letak mens rea (niat/sikap batin) dan actus reus (perbuatan melanggar hukum) terjadi. Bupati, sebagai kepala daerah yang menerima langsung surat evaluasi gubernur, memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk memastikan penyesuaian dilakukan. Faktanya, penyesuaian itu tidak dilakukan. Keputusan ini bukan keputusan teknis semata, melainkan keputusan politik yang berdampak pada kerugian keuangan daerah.
DPRD, dalam hal ini, hanya menjalankan fungsinya sesuai PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketika Bupati menyampaikan matriks tanggapan yang sudah ditandatangani dan diparaf TAPD, DPRD melalui Badan Anggaran melakukan pembahasan dan menyepakatinya. Ini adalah prosedur normal dalam proses penganggaran.
Dilema Anggota DPRD: Korban atau Pelaku?
Anggota DPRD berada dalam posisi yang tidak nyaman. Mereka menerima TKI yang ditransfer oleh Bendahara Sekretariat DPRD berdasarkan APBD yang telah disahkan. Dari perspektif mereka, ini adalah hak keuangan yang sah. Mereka tidak terlibat dalam proses perhitungan KKD, tidak menyusun matriks tanggapan evaluasi gubernur, dan tidak memiliki akses terhadap data teknis keuangan daerah.
Ketika BPK menemukan kelebihan pembayaran dan meminta pengembalian, anggota DPRD patuh melakukan penyetoran meskipun belum lunas. Namun pertanyaan mereka sangat masuk akal: atas dasar apa mereka harus mengembalikan? Bukankah seharusnya ada proses Tuntutan Ganti Rugi (TGR) sesuai PP Nomor 38 Tahun 2016 yang melibatkan pembentukan Tim Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD)?
Faktanya, pemerintah daerah tidak pernah membentuk TPKD. Tidak ada Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang menjadi dasar hukum penagihan. Penyetoran yang dilakukan anggota DPRD saat ini bersifat “pengembalian” bukan “penggantian” kerugian negara. Ini perbedaan yang sangat penting dalam hukum.
Lalu bagaimana dengan unsur Pimpinan DPRD Kabgor..??
Pertanyaan krusial yang kini mengemuka, apakah Pimpinan DPRD bisa jadi tersangka atau benarkah hanya menjalankan tugas…?? Mari kita lihat peran dan Tindakan mereka secara detail.
Tindakan yang dilakukan oleh pimpinan DPRD saat itu adalah, pertama menandatangani Berita Acara Nomor 170/DPRD/1224/XII/2022 tentang pembahasan Badan Anggaran dengan TAPD, kedua, menandatangani Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 4/KEP/PIMP/DPRD/XII/2022 tentang persetujuan hasil penyempurnaan, ketiga, menandatangani matriks tanggapan klarifikasi evaluasi gubernur yang menetapkan KKD sedang dan keempat adalah Menyampaikan kembali kepada Bupati melalui Surat Ketua DPRD Nomor 172/DPRD/1227.
Adapun argument yang bisa membela pimpinan DPRD Kabgor, berdasarkan dokumen, Pimpinan DPRD hanya menjalankan fungsi sesuai Pasal 115 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketika Bupati menyampaikan matriks tanggapan yang sudah ditandatangani dan diparaf TAPD, DPRD melalui Badan Anggaran melakukan pembahasan dan penyempurnaan. Yang penting dicatat: matriks tanggapan yang menetapkan KKD sedang sudah ditetapkan oleh Bupati dan diparaf TAPD sebelum sampai ke DPRD. Menurut keterangan Pimpinan DPRD, rapat penyempurnaan hanya membahas hal-hal umum dan tidak membahas lagi soal besaran TKI karena matriks tanggapan sudah lengkap dari Pemkab.
Namun, argument yang bisa memberatkan dari perspektif hukum pidana, ada beberapa hal yang bisa menjerat mereka. Yaitu Akses terhadap Informasi, dimana pimpinan DPRD menerima tembusan Keputusan Gubernur Nomor 398/29/XII/2022 yang menyatakan KKD rendah. Mereka seharusnya tahu bahwa ada ketidaksesuaian. Kemudian Kewenangan Penolakan, sebagai lembaga pengawas anggaran, DPRD berhak menolak matriks tanggapan yang tidak sesuai dengan evaluasi gubernur. Faktanya, mereka menyetujuinya. Berikut, Kepentingan Pribadi, dimana ketiga pimpinan DPRD adalah penerima manfaat langsung dari penetapan KKD sedang (TKI lebih besar). Ini bisa dianggap sebagai conflict of interest. Dan terakhir adalah Penandatanganan Dokumen Kunci, dimana mereka menandatangani dokumen-dokumen yang menetapkan KKD sedang, bukan hanya menyetujui secara lisan.
Jika pembahasan diwarung-warung kopi menitik beratkan pada mens rea dan actus reus, yang notabene mengarah pada TAPD dan Pemerintahan Kabupaten Gorontalo waktu itu, bagaimana bisa mengaitkan kedua point itu ke unsur pimpinan DPRD…??
Sulit ntuk menilai dan membuktikan mens rea atau niat jahat pada pimpinan DPRD, sebab mereka hanya menjalankan prosedur berdasarkan matriks yang sudah ditetapkan Bupati. Namun, jika terbukti mereka tahu tentang evaluasi gubernur (KKD rendah) tapi tetap menyetujui KKD sedang karena kepentingan pribadi, mens rea bisa terpenuhi. Berikut, dengan menandatangani dokumen-dokumen yang menetapkan KKD sedang adalah perbuatan nyata. Pertanyaannya: apakah ini perbuatan melawan hukum atau pelaksanaan tugas administratif??
Bagaimana dengan Anggota (biasa) DPRD Kabgor..??
Anggota DPRD (biasa atau bukan pimpinan) berada dalam posisi yang berbeda. Mereka menerima TKI yang ditransfer oleh Bendahara Sekretariat DPRD berdasarkan APBD yang telah disahkan. Dari perspektif mereka, ini adalah hak keuangan yang sah. Mereka tidak terlibat dalam proses perhitungan KKD, tidak menyusun matriks tanggapan evaluasi gubernur, dan tidak memiliki akses terhadap data teknis keuangan daerah.
Ketika BPK menemukan kelebihan pembayaran dan meminta pengembalian, anggota DPRD patuh melakukan penyetoran meskipun belum lunas. Namun pertanyaan mereka sangat masuk akal: atas dasar apa mereka harus mengembalikan? Bukankah seharusnya ada proses Tuntutan Ganti Rugi (TGR) sesuai PP Nomor 38 Tahun 2016 yang melibatkan pembentukan Tim Penyelesaian Kerugian Daerah (TPKD)?
Faktanya, pemerintah daerah tidak pernah membentuk TPKD. Tidak ada Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang menjadi dasar hukum penagihan. Penyetoran yang dilakukan anggota DPRD saat ini bersifat “pengembalian” bukan “penggantian” kerugian negara. Ini perbedaan yang sangat penting dalam hukum.
Anggota DPRD (bukan pimpinan) memiliki peluang sangat kecil menjadi tersangka karena tidak memiliki mens rea maupun actus reus. Mereka murni penerima hak berdasarkan keputusan yang ditetapkan pihak lain
Potensi Pertanggungjawaban Sekertaris Dewan…
Secara administratif, Sekertaris Dewan (Sekwan), secara pasti telah melanggar pasal 9 Permendagri 62 Tahun 2017, yang mewajibkan untuk mengusulkan Perbup tentang besaran TKI. Pertanggungjawaban administrasi berikutnya adalah tidak membentuk Perbup baru untuk TA 2022 dan 2023 dan hanya berdasarkan pada Perbup lama yang sudah tidak berlaku.
Pertanyaannya, Apakah Sekwan tahu bahwa KKD seharusnya rendah tapi tetap memproses TKI sedang…?? Hal ini untuk membuktikan tanggungjawab pidana pada mens rea atau niat jahat atas perbuatan melanggar hukum karena kelalaian dengan tidak mengusulkan Perbup baru.
Seperti diketahui, Sekwan adalah adalah pengguna anggaran yang bertanggung jawab atas belanja DPRD. Hal ini adalah point yang memberatkan, karena seharusnya proaktif dirinya memastikan ada Perbup baru setiap tahun. Dan yang terakhir, tentu Sekwan memiliki akses pada dokumen evaluasi gubernur.
Jika ditanya apakah Sekwan kemungkinan akan menjadi tersangka ?, jawabannya adalah iya. Karena Sekwan telah lalai dengan jelas karena tidak membentuk Perbup baru. Kemudian, posisinya sebagai PA, adalah orang yang bertanggung jawab atas keuangan di DPRD. Dan dalam investigasi korupsi, biasanya semua pihak yang berkontribusi pada kerugian negara akan diperiksa.
Namun, tingkat pertanggungjawaban pidananya lebih rendah dibanding Bupati, karena yang membuat keputusan final adalah Bupati. Sekwan dalam hal ini lebih kepada kelalaian dan bukan kesengajaan, dan Sekwan bekerja berdasarkan sistem yang sudah salah dari atasnya. Lalu factor apa yang bisa meringankan Sekwan ? pertama, Sekwan bergantung pada data dari TAPD (penetapan pagu definitif dan kertas kerja). Kemudian TAPD tidak pernah mengeluarkan KKD resmi dan Sekwan bekerja berdasarkan instruksi/data dari lembaga yang berwenang.
Untuk diketahui, perhitungan KKD bukan formalitas semata. Ini adalah instrumen penting untuk memastikan hak keuangan pejabat daerah sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Ketika ada evaluasi dari pemerintah atasan (dalam hal ini Gubernur), penyesuaian harus dilakukan bukan hanya secara formal tetapi substansial. Mempertahankan status quo ketika sudah ada koreksi adalah bentuk pembangkangan administratif yang bisa berujung pada kerugian negara.
Kemudian, dalam sistem checks and balances, tanggung jawab tidak bisa dilempar ke pihak yang hanya menjalankan fungsi pengawasan atau yang hanya menerima hak berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan. Tanggung jawab harus ditarik kepada pihak yang memiliki kewenangan mengambil keputusan.
Penentuan Tanggung Jawab…
Fakta yang ada saat ini adalah TAPD yang tidak menghitung KKD, Sekwan yang tidak membentuk Peraturan Bupati baru, dan pejabat keuangan yang melakukan input data TKI tanpa dasar regulasi yang sah. Namun, dari semua pihak yang diperiksa, satu fakta menonjol: keputusan krusial untuk mempertahankan KKD “sedang” alih-alih menyesuaikannya menjadi “rendah” ada di tangan Bupati Gorontalo. Surat bertanggal 28 Desember 2022 yang ditandatanganinya menjadi bukti kunci.
Dalam hukum pidana, khususnya tindak pidana korupsi, yang dicari bukan hanya siapa yang menerima keuntungan, tetapi siapa yang memiliki niat dan melakukan perbuatan yang menyebabkan kerugian negara. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, melawan hukum, dan merugikan keuangan negara semuanya harus terpenuhi.
Jika kita kembali pada pertanyaan awal—siapa yang seharusnya bertanggung jawab—jawabannya sudah cukup jelas dari rangkaian fakta yang ada. Bupati Gorontalo, sebagai kepala daerah yang menerima evaluasi gubernur dan yang menandatangani matriks tanggapan yang tidak sesuai dengan evaluasi tersebut, berada pada posisi paling bertanggung jawab.
TAPD yang membantu menyusun matriks dan tidak melakukan perhitungan KKD juga memiliki tanggung jawab, meskipun mereka bekerja di bawah koordinasi kepala daerah. Sementara itu, anggota DPRD yang hanya menerima hak keuangan berdasarkan APBD yang telah disahkan seharusnya tidak diperlakukan sebagai pihak yang paling bersalah. Mereka adalah korban dari sistem yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Keadilan menuntut agar tanggung jawab diletakkan pada pundak yang tepat. Bukan pada mereka yang hanya menjalankan fungsi sesuai kewenangannya, tetapi pada mereka yang memiliki kuasa dan dengan sadar mengambil keputusan yang melanggar regulasi dan merugikan keuangan daerah.
Pertanyaan terakhir, publik menanti keputusan Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Kejaksaan Negeri Kabupaten Gorontalo, terkait dengan dugaan Korupsi yang melibatkan kekisruhan di Gorontalo ini. kita yakin bahwa semua fakta-fakta dan bukti telah dikantongi penyidik, sehingga dapat dipastikan kejaksaan akan menyelesaikan perkara ini dengan baik. Oh iya, untuk menguatkan tulisan ini, barangkali Kejaksaan dapat meminta Proposal dana PEN Pemda Kabupaten Gorontalo ke PT. Sarana Multi Infrastruktur, sebagai bukti tambahan. Sebab pada permohonan itu, Pemda Kabgor dipastikan memasukan point tentang status KKD yang menjadi salahsatu syarat dipenuhinya pengajuan Rp. 492 Miliar kala itu. [***]




















